SEJARAH DAN PERKEMBANGAN DEMOKRASI LIBERAL (POLITIK PEMERINTAHAN)
Sejarah Demokrasi Liberal di Indonesia
Pada bulan Oktober 1945, Wakil
Presiden Mohammad Hatta mengeluarkan Maklumat Wakil Presiden No. X, menyatakan
bahwa Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP) akan menjalankan tugas legislatif
sebelum MPR/DPR terbentuk. Dengan langkah ini, KNIP menjadi lembaga setara
dengan lembaga kepresidenan, bukan lagi sebagai lembaga pembantu presiden.
Di bawah kepemimpinan Sutan
Sjahrir, KNIP berhasil mendorong Wakil Presiden Hatta untuk menerbitkan
Maklumat Pemerintah pada 13 November 1945 tentang pendirian partai politik dan
pada 14 November 1945 tentang pemberlakuan Kabinet Parlementer. Dengan maklumat
tersebut, Indonesia mengadopsi sistem parlementer di mana presiden hanya
sebagai kepala negara dan simbol, sementara urusan pemerintahan diserahkan
kepada perdana menteri. Sjahrir terpilih sebagai Perdana Menteri Indonesia
pertama. Setelah RIS dibubarkan, sejak tahun 1950, Indonesia menerapkan
demokrasi parlementer-liberal dengan meniru sistem parlementer Barat. Masa ini
dikenal sebagai Masa Demokrasi Liberal, di mana Indonesia terbagi menjadi 10
provinsi yang memiliki otonomi berdasarkan Undang-Undang Dasar Sementara 1950
(UUDS 1950) yang bersifat liberal.
Secara umum, demokrasi liberal
diartikan sebagai sistem pemerintahan yang menekankan perwakilan atau
representatif dalam demokrasi. Konstitusi ini menetapkan pemerintahan Republik
Indonesia yang dipimpin oleh dewan menteri (kabinet) di bawah kepemimpinan
perdana menteri, yang bertanggung jawab kepada parlemen (DPR).
Pada saat penerapan demokrasi
parlementer, Indonesia memiliki berbagai partai politik, seperti PNI, PKI,
Masyumi, NU, Partai Murba, Partai Katolik, Parkindo, Partai Buruh, PSII, dan
PSI. Sistem multi partai pada masa demokrasi liberal mendorong munculnya
beragam partai politik dengan ideologi dan tujuan politik yang berbeda. Kabinet
yang memerintah, yaitu:
1.
Kabinet Natsir (6 September 1950-21 Maret 1951)
2.
Kabinet Sukiman (27 April 195-3 April 1952)
3.
Kabinet Wilopo (3 April 1952-3 Juni 1953)
4.
Kabinet Ali Sastroamidjojo I (31 Juli 1953-12
Agustus 1955)
5.
Kabinet Burhanuddin Harahap (12 Agustus 1955 -3
Maret 1956)
6.
Kabinet Ali Sastroamidjojo II (20 Maret 1956-4
Maret 1957)
7.
Kabinet Djuanda (9 April 1957 - 5 Juli 1959)
Namun, setelah hampir 9 tahun berlangsung, UUDS 1950 dengan sistem Demokrasi Liberal terbukti tidak sesuai dengan kehidupan politik yang kompleks dan beragam di Indonesia. Pada tanggal 5 Juli 1959, Presiden Soekarno mengumumkan dekrit presiden mengenai pembubaran Dewan Konstituante dan kembalinya berlakunya UUD 1945.
Mulainya Demokrasi Parlementer
Pada 17 Agustus 1950, Indonesia kembali menjadi negara
kesatuan. Pemerintahan Republik Indonesia masih melanjutkan model demokrasi
parlementer yang liberal. Kabinet dipimpin oleh seorang perdana menteri
sebagai kepala pemerintahan dan bertanggung jawab
kepada parlemen.
Presiden hanya berkedudukan sebagai kepala negara.
Sementara itu, Undang-Undang
Dasar Sementara Republik Indonesia (UUDS) 1950 digunakan
sebagai konstitusi berdasarkan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1950 tentang
Perubahan Konstitusi Sementara Republik Indonesia Serikat menjadi Undang-Undang
Dasar Sementara Republik Indonesia, dalam Sidang Pertama Babak ke-3 Rapat ke-71
DPR RIS tanggal 14 Agustus 1950 di Jakarta. Konstitusi ini dinamakan
“sementara”, karena hanya bersifat sementara, menunggu terpilihnya Konstituante
hasil pemilihan umum yang akan menyusun konstitusi baru.
UUDS 1950 sangat berbeda dengan UUD 1945 dalam banyak
hal; ia mengamanatkan sistem pemerintahan parlementer dan menetapkan secara
panjang lebar jaminan konstitusional untuk hak asasi manusia, yang sangat
mengacu pada Pernyataan Umum tentang Hak-Hak Asasi
Manusia oleh PBB tahun 1948.
Pada tahun 1955, Indonesia melaksanakan pemilihan umum nasional yang pertama.
Pada bulan September, rakyat memilih wakil untuk DPR, dan pada bulan Desember
pemilih kembali memilih wakil-wakil yang lebih banyak lagi sebagai anggota
Konstituante.
Konstituante, setelah dipilih pada tahun 1955, mulai bersidang pada bulan November 1956 di Bandung, ibu kota Jawa Barat, untuk membuat UUD yang baru sesuai amanat UUDS 1950. Perdebatan, permusyawaratan, dan penulisan draf-draf UD berlangsung selama dua setengah tahun. Perdebatan isu dasar negara (terutama antara golongan yang mendukung Islam sebagai dasar negara dan golongan yang mendukung Pancasila) terjadi sangat sengit. Walaupun para pimpinan Konstituante merasa sudah lebih dari 90% materi undang-undang dasar telah disepakati, dan walaupun ada beberapa tokoh partai politik Islam yang merasa siap berkompromi, Konstituante tidak sempat menyelesaikan tugasnya.
Walaupun munculnya sistem Demokrasi Liberal dianggap
sebagai bentuk kebebasan berpolitik, namun dalam perjalanannya persaingan tidak
sehat antar partai politik mengakibatkan ketidakstabilan pemerintahan. Secara
garis besar, kabinet – kabinet yang ada pada Demokrasi Liberal diantaranya :
1. Kabinet
Natsir (September 1950-Maret 1951)
Kabinet
Natsir berusaha untuk melibatkan semua partai dalam parlemennya. Namun,
Mohammad Natsir selaku perdana menteri ternyata kesulitan memberikan posisi
kepada partai politik yang bersebrangan. Masyumi sebagai partai dari Natsir
sebagai pengaruh partai Islam yang sangat kuat berusaha untuk merangkul Partai
Nasional Indonesia (PNI) namun selalu saja kandas.
PNI
bahkan melakukan tuntutan pada Peraturan Pemerintah No. 39 Tahun 1950 tentang
Pembentukan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dan Dewan Pemerintahnya. Mosi tidak
percaya membuat Kabinet Natsir akhirnya mundur dan Natsir turun dari
jabatannya.
2. Kabinet Sukiman (April 1951-Februari 1952)
Wilopo
mendapatkan suara mayoritas dalam parlemen sehingga dipilih menjadi perdana
menteri. Tugas poko Kabinet Wilopo adalah untuk menjalankan Pemilu anggota
parlemen dan Konstituante. Kabinet Wilopo tidak berlangsung lama karena adanya
kasus Peristiwa 17 Oktober 1952 dan Peristiwa Tanjung Morawa. Krisis ekonomi,
defisit kas negara, konflik internal antara TNI dan parlemen serta gerakan
separatisme memperkeruh keadaan dimasa Kabinet Wilopo. Pada 2 Juni 1953,
Kabinet Wilopo menyerahkan kembali mandatnya kepada presiden.
Kabinet Ali Sastroamidjojo I (Juli 1953-Juli 1955)
Kabinet
Ali Sastroamidjojo I memiliki tugas yang sama dengan Kabinet Wilopo yaitu
melaksanakan Pemilu. Pada tanggal 31 Mei 1954, dibentuk Panitia Pemilihan Umum
Pusat dan Daerah. Pemilihan direncanakan pada 29 September (DPR) dan 15
Desember (Konstituante) 1955. Pada masa Kabinet Ali Sastroamidjojo I keadaan
ekonomi Indonesia memburuk yang disertai korupsi. Nahdatul Ulama (NU) kemudian
menarik diri dari kabinet yang diikuti oleh partai lain. Pada akhirnya Kabinet
Ali Sastroamidjojo I kewalahan dengan keadaan yang terjadi sehingga
mengembalikan mandatnya kepada presiden pada 24 Juli 1955.
1. Kabinet
Burhanuddin Harahap (Agustus 1955-Maret 1956)
Kabinet
Burhanuddin Harahap mampu melaksanakan Pemilu 1955 tanpa mengubah waktu
pelaksanaan. Kendati demikian, terdapat beberapa masalah dimasa Kabinet
Burhanuddin Harahap. Penyelesaian Irian Barat yang berlarut – larut berakibat
munculnya gelombang protes baik dari Soekarno maupun partai lain. Pada akhirnya
Kabinet Burhanuddin Harahap menyerahkan mandatnya pada 3 Maret 1956.
2. Kabinet
Ali Sastroamidjojo II (Maret 1956-Maret 1957)
Kabinet
Ali Sastroamidjojo II mengalami masalah yang sama pada kabinet sebelumnya
seperti persoalan Irian Barat, otonomi daerah, keuangan negara dan lain – lain.
Berakhirnya masa Kabinet Ali Sastroamidjojo II dikarenakan tidak selesainya
permasalahan Irian Barat.
3. Kabinet
Djuanda (Maret 1957-Juli 1959)
Kabinet Djuanda memberikan 5 program kerja yakni pembentuk dewan, normalisasi keadaan Indonesia, membatalkan pelaksanaan KMB, memperjuangkan Irian Barat, dan melaksanakan pembangunan. Salah satu permasalahan di Kabinet Djuanda adalah Deklarasi Djuanda. Kebijakan ini memberatkan beberapa negara sehingga Indonesia harus melakukan perundingan dalam menyelesaikan permasalahan ini.
Akhir Demokrasi Liberal
Selama masa Demokrasi Liberal berlangsung keadaan Indonesia cenderung tidak stabil sehingga berimbas pada segala aspek di Indonesia. Hal tersebut berimbas pada keputusan Presiden Soekarno untuk mengeluarkan Dekrit Presiden 5 Juli 1959. Di dalam Dekrit 5 Juli 1959 berisi Dewan Konstituante dibubarkan dan kembalinya UUD 1945 sebagai konstitusi negara. Hal ini sekaligus meninggalkan UUDS 1950 yang sebelumnya berlaku. Selain itu dibentuk pula Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara (MPRS) dan Dewan Pertimbangan Agung Sementara (DPAS). Melalui Dekrit 5 Juli 1959 secara resmi Demokrasi Liberal berakhir dan dilanjutkan Demokrasi Terpimpin.
Perkembangan
Politik Masa Demokrasi Liberal di Indonesia (1949-1959)
Periode 1949 -1959 merupakan masa berkiprahnya
partai-partai politik pada pemerintahan Indonesia. Pada masa ini terjadi
pergantian kabinet, partaipartai politik terkuat mengambil alih kekuasaan. Dua
partai terkuat pada masa itu (PNI dan Masyumi) silih berganti memimpin kabinet.
Hampir setiap tahun terjadi pergantian kabinet. Masa pemerintahan kabinet tidak
ada yang berumur panjang, sehingga masing-masing kabinet yang berkuasa tidak
dapat melaksanakan seluruh programnya. Keadaan ini menimbulkan ketidakstabilan
dalam bidang politik, ekonomi, sosial, dan keamanan. Kabinet-kabinet yang pemah
berkuasa setelah penyerahan kedaulatan dari tangan Belanda adalah sebagai
berikut:
1. Kabinet Natsir (6 September 1950-21 Maret 1951).
Setelah bentuk negara Republik Indonesia Serikat (RIS) dibubarkan, kabinet
pertama yang memerintah Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah Kabinet
Natsir. Kabinet Natsir merupakan kabinet koalisi yang dipimpin oleh Masyumi.
PNI sebagai partai kedua terbesar lebih memilih kedudukan sebagai oposisi. PNI
menolak ikut serta dalam kabinet, karena merasa tidak diberi kedudukan yang
sesuai dengan kekuatan yang dimilikinya. Yahya (2005: 72) menjelaskan kabinet Natsir
mendapat dukungan dari militer dan dari tokoh-tokoh terkenal yang memiliki
keahlian dan reputasi tinggi seperti Sri Sultan Hamengku Buwono IX, Mr. Asaat,
Mr. Moh. Roem, Ir. Djuanda dan Dr. Sumitro Djojohadikusumo. Program pokok dari
Kabinet Natsir adalah:
a.
Menggiatkan usaha keamanan dan ketentraman.
b.
Konsolidasi dan menyempurnakan pemerintahan.
c.
Menyempurnakan organisasi angkatan perang.
d.
Mengembangkan dan memperkuat ekonomi kerakyatan.
e.
Memperjuangkan penyelesaian masalah Irian Barat.
Pada masa
pemerintahan dan kekuasaan Kabinet Natsir terjadi. Pemberontakan hampir di
seluruh wilayah Indonesia. Masalah dalam keamanan negeri, seperti Gerakan
DI/TII, Gerakan Andi Azis, Gerakan APRA, dan Gerakan RMS.
Perundingan-perundingan masalah Irian Barat juga mulai dirintis, namun
mengalami jalan buntu. Oleh karena itu, muncul mosi tidak percaya terhadap
Kabinet Natsir. PNI juga tidak menyetujui berlakunya Peraturan Pemerintah No.
39 tahun 1950 tentang DPRD yang dianggap menguntungkan Masyumi. Mosi itu
disampaikan kepada parlemen tanggal 22 Januari 1951 dan memperoleh kemenangan,
sehingga pada tanggal 21 Maret 1951 Perdana Menteri Natsir mengembalikan
mandatnya kepada presiden.
2. Kabinet Sukiman (27 April 1951-3 April 1952).
Setelah Kabinet Natsir mengembalikan mandatnya kepada presiden, presiden
menunjuk Sartono (Ketua PNI) menjadi formatur. Hampir satu bulan Sartono
berusaha membentuk kabinet koalisi antara PNI dengan Masyumi. Namun usahanya
itu mengalami kegagalan, sehingga ia mengembalikan mandatnya kepada presiden
setelah bertugas selama 28 hari (28 Maret - 18 April 1951). Presiden kemudian
menunjuk Sukiman (Masyumi) dan Djojosukarto (PNI) sebagai formatur. Walaupun
mengalami sedikit kesulitan, namun akhirnya mereka berhasil membentuk kabinet
koalisi antara Masyumi dengan PNI dan sejumlah partai kecil. Kabinet koalisi
itu dipimpin oleh Sukiman dan kemudian lebih dikenal dengan sebutan Kabinet
Sukiman. Kabinet Sukiman memiliki program 7 pasal, dan di antaranya mirip
dengan program dari kabinet Natsir, hanya beberapa hal mengalami perubahan
dalam skala prioritas. Misalnya, mengenai pemulihan keamanan dan ketertiban.
Usia kabinet ini tidak jauh berbeda dengan kabinet Natsir, karena pada masa
kabinet ini banyak menghadapi masalah-masalah seperti krisis moral yang
ditandai dengan munculnya korupsi yang terjadi pada setiap lembaga pemerintahan
dan kegemaran akan barang-barang mewah.
Kabinet Sukiman juga memprogramkan untuk merebut kembali
Irian Barat dari tangan Belanda, walaupun belum juga membawa hasil. Kedudukan
Kabinet Sukiman semakin tidak stabil, karena hubungan dengan militer yang
kurang baik, terutama terlihat dari sikap pemerintah menghadapi pemberontakan
yang terjadi di Jawa Barat, Jawa tengah, dan Sulawesi Selatan yang kurang
tegas. Selanjutnya kedudukan Kabinet Sukiman semakin bertambah goyah sebagai
akibat terjadinya pertukaran nota antara Menteri Luar Negeri Subardjo dengan
Duta Besar Amerika Serikat Merle Cochran mengenai bantuan ekonomi dan militer
berdasarkan ikatan Mutual Security Act (MSA) atau Undang-undang Kerja Sama
Keamanan. Kerja sama itu dinilai sangat merugikan politik luar negeri
bebas-aktif yang dianut Indonesia, karena Indonesia harus lebih memerhatikan
kepentingan Amerika Serikat. Bahkan lebih dari itu, Kabinet Sukiman dituduh
telah memasukkan Indonesia ke dalam Blok Barat. Oleh karena itu, DPR menggugat
kebijakan Kabinet Sukiman. Akhirnya Kabinet Sukiman pun menemui nasib yang
sama, mengalami kejatuhan dan mengembalikan mandatnya kepada Presiden.
3. Kabinet Wilopo (3 April 1952 - 3 Juni 1953).
Setelah Kabinet Sukiman jatuh, digantikan oleh Kabinet Wilopo. Kabinet ini
mendapat dukungan dari PNI, Masyumi, dan PSI. Wilopo sendiri adalah tokoh PNI.
Program kerja kabinet ini ada 6 pasal, dan yang paling penting dari keenam
program itu adalah mempersiapkan pelaksanaan pemilihan umum. Kabinet ini juga
mem-programkan untuk meningkatkan kemakmuran rak yat dan menciptakan keamanan
dalam negeri. Program luar negerinya ditekankan kepada per-juangan pengembalian
Irian Barat serta melaksanakan politik luar negeri yang bebas-aktif. Namun
demikian, kabinet Wilopo ini juga tidak luput dari masalah-masalah yang
menggoyahkan kedudukannya.
Masalah yang cukup berat dihadapi oleh Kabinet Wilopo
adalah masalah Angkatan Darat yang dikenal dengan Peristiwa 17 Oktober 1952.
Latar belakang peristiwa itu terkait dengan masalah ekonomi, reorganisasi atau
profesi-onalisasi tentara dan campur tangan parlemen atas permasalahan militer.
Sementara itu, perkembangan ekonomi dunia kurang menguntungkan pemasaran hasil
ekspor Indonesia. Penerimaan negara menjadi menurun. Dengan keadaan ekonomi
yang sulit dan upaya pembentukan militer yang memenuhi standar profesional,
maka anggota militer yang tidak memenuhi syarat (berpendidikan rendah) perlu
dikembalikan kepada masyarakat.
Hal ini menimbulkan protes di kalangan militer, Kalangan yang terdesak dipimpin oleh Kolonel Bambang Sugeng menghadap presiden dan mengajukan petisi penggantian KSAD Kolonel A.H. Nasution. Tentu saja hal ini menimbulkan kericuhan di kalangan militer yang menjurus ke arah perpecahan. Parlemen mengecam tindakan pemerintah, khususnya Menteri Pertahanan dan Pimpinan Angkatan Perang dan Darat. Beberapa anggota parlemen mengajukan mosi tidak percaya kepada pemerintah. Mereka menilai bahwa parlemen terlalu ikut campur dalam tubuh tentara. Bahkan pada tanggal 17 Oktober 1952 muncul demonstrasi rakyat terhadap presiden. Para demonstran itu menuntut kepada presiden agar membubarkan parlemen serta meminta presiden memimpin langsung pemerintahan sampai diselenggarakannya pemilu. Namun presiden menolak, dengan alasan bahwa ia tidak mau menjadi diktator, tetapi mungkin pula khawatir apabila tuntutan tentara dipenuhi ia akan ditunggangi oleh mereka.
Dalam perkembangan selanjutnya muncul golongan yang anti Peristiwa 17 Oktober 1952 dari kalangan Angkatan Darat sendiri. Menteri Pertahanan, Sekretaris Jenderal Ali Budihardjo dan sejumlah perwira yang merasa bertanggung jawab atas Peristiwa 17 Oktober 1952 di antaranya KSAP T.B. Simatupang dan KSAD A.H. Nasution mengundurkan diri dari jabatannya. Kedudukan Nasution digantikan oleh Bambang Sugeng. Walaupun Peristiwa 17 Oktober 1952 tidak menyebabkan jatuhnya kabinet Wilopo, tetapi berakibat menurunnya kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah. Masalah lain yang menyebabkan jatuhnya kabinet Wilopo adalah masalah tanah di Tanjung Morawa, satu kecamatan di Sumatera Timur. Di kecamatan itu terdapat perkebunan asing, antara lain perkebunan kelapa sawit, teh, dan tembakau. Atas dasar persetujuan KMB, para pengusaha asing itu menuntut pengembalian lahan perkebunan mereka, padahal perkebunan itu telah digarap oleh rakyat sejak zaman pendudukan Jepang. Ternyata pemerintah menyetujui tuntutan dari para pengusaha asing itu dengan alasan akan menghasilkan devisa dan akan menarik modal asing lainnya masuk ke Indonesia. Di sisi lain, rakyat tidak mau meninggal-kan tanah-tanah yang telah digarapnya itu. Maka pada tanggal 16 Maret 1953 terjadilah pentraktoran tanah tersebut. Hal ini menimbulkan protes dari rakyat. Namun protes rakyat itu disambut tembakan oleh polisi, sehingga jatuh korban di kalangan rakyat. Peristiwa itu dijadikan sarana oleh kelompok yang anti kabinet dan pihak oposisi lainnya untuk mencela pemerintah. Kemudian mosi tidak percaya muncul di parlemen. Akibatnya Kabinet Wilopo mengembalikan mandatnya kepada presiden pada tanggal 2 Juni 1953 tanpa menunggu mosi itu diterima oleh parlemen.
Kabinet ini merupakan zeken kabinet, karena terdiri atas para pakar dan ahli dibidangnya. Kabinet ini mengalamani tantangan berat, berupa gerakan separatis disejumlah daerah dan beberapa pemberontakan lain sehingga mengakibatkan kabinet ini runtuh.
4. Kabinet Ali Sastroamidj ojo I (31 Juli 1953 - 12 Agustus 1955). Dua bulan setelah mundurnya Kabinet Wilopo terbentuk kabinet baru yaitu Kabinet Ali Sastroamidjojo. Kabinet Ali mendapat dukungan dari PNI dan NU, sedangkan Masyumi memilih sebagai oposisi. Kabinet Ali mempunyai program 4 pasal: a. Program dalam negeri antara lain meningkatkan keamanan dan kemakmuran dan segera diselenggarakan pemilihan urnum. b. Pembebasan Irian Barat secepatnya. c. Program luar negeri antara lain pelaksanaan politik bebas-aktif dan peninjauan kembali Persetujuan KMB. d. Penyelesaian pertikaian politik. Meskipun keamanan dan kemakmuran menjadi program utama, realisasinya memang sangat sulit.
Kabinet Ali juga mendapatkan kesulitan dari Persatuan Ulama Seluruh Aceh (PUSA) pimpinan Daud Beureueh yang menuntut Aceh sebagai provinsi dan meminta perhatian penuh atas pembangunan daerah. Daud Beureueh menilai bahwa tuntutan itu diabaikan, sehingga ia menyatakan Aceh menjadi bagian dari Nil (Negara Islam Indonesia) buatan Kartosuwiryo (September 1953). Usaha meningkatkan kemakmuran mengalami kegagalan karena inflasi dan korupsi yang meningkat. Kegagalan yang menyebabkan jatuhnya Kabinet Ali adalah masalah Angkatan Darat. Setelah Peristiwa 17 Oktober, Nasution mengundurkan diri sebagai KSAD. la digantikan oleh Bambang Sugeng. Sementara itu, perwira-perwira AD yang anti dan pro Peristiwa 17 Oktober berhasil memulihkan persatuan dan menandatangani Piagam Yogyakarta (25 Februari 1955). Oleh karena tugasnya dirasakan sangat berat, Bambang Sugeng mohon berhenti dan dikabulkan oleh pemerintah. Kemudian pemerintah mengangkat Bambang Utoyo sebagai KSAD baru. Akan tetapi Angkatan Darat yang berada di bawah pejabat KSAD yang dikepalai oleh Zulkifli Lubis menolak.
Ketika Bambang Utoyo dilantik pada tanggal 27 Juni 1955, TNI-AD memboikot pengangkatan itu. Bambang Utoyo adalah KSAD yang tidak pernah berkantor di Markas Besar Angkatan Darat (MBAD). Akibat peristiwa tersebut dan berbagai kemelut yang lain, kabinet ini dinilai gagal. Banyak partai yang menarik menterinya dari kabinet. Akhirnya pada tanggal 24 Juli 1955, Ali Sastroamidjojo mengembalikan mandatnya kepada wakil presiden (karena saat itu presiden sedang menunaikan ibadah haji). Namun di balik kegagalan Kabinet Ali, kabinet tersebut masih memiliki kesuksesan, di antaranya adalah menyiapkan pemilihan umum dan menyelenggarakan Konferensi Asia Afrika.
5. Kabinet Burhanuddin Harahap (12 Agustus 1955-3 Maret 1956). Kabinet Ali digantikan dengan Kabinet Burhanuddin Harahap. Burhanuddin Harahap berasal dari Masyumi, sedangkan PNI membentuk oposisi. Hasil yang menonjol dari kabinet ini adalah penyelenggaraan pemilihan umum untuk kali pertama bagi bangsa Indonesia, yang berlangsung pada tanggal 29 September 1955 untuk memilih anggota DPR dan tanggal 15 Desember 1955 untuk memilih anggota konstituante. Peristiwa tanggal 27 Juni 1955 yang menjadi penyebab kegagalan dari Kabinet Ali berhasil diselesaikan dengan mengembalikan posisi Nasution sebagai KSAD. Prestasi lainnya yang dicapai oleh kabinet ini adalah pembubaran Uni Indonesia-Belanda. Setelah hasil pemilihan umum diketahui mengubah susunan dan keseimbangan perwakilan di DPR, maka pada tanggal 3 Maret 1956 Kabinet Burhanuddin Harahap mengembalikan mandatnya kepada presiden. Kabinet Burhanuddin Harahap merupakan kabinet peralihan dari DPR Sementara ke DPR hasil pemilihan umum.
6. Kabinet Ali Sastroamidjojo II (20 Maret 1956 - 14 Ma ret 1957). Ali Sastroamidjojo kembali diserahi mandat untuk membentuk kabinet baru pada tanggal 20 Maret 1956. Kabinet baru yang dibentuknya itu merupakan kabinet koalisi antara PNI, Masyumi dan NU. Program pokok kabinet ini adalah sebagai berikut:
a. Pembatalan KMB.
b. Perjuangan mengembalikan Irian Barat ke pangkuan Republik Indonesia
c. Pemulihan keamanan dan ketertiban, pembangunan ekonomi, keuangan, industri, perhubungan, pendidikan dan pertanian.
d. Melaksanakan keputusan Konferensi Asia-Afrika. Kabinet Ali Sastroamidjojo membatalkan seluruh Perjanjian KMB pada tanggal 3 Mei 1956.
Upaya kabinet ini untuk memperbaiki masalah ekonomi
mengalami kesulitan, disusul oleh munculnya gerakan separatisme di berbagai
daerah yang dikenal dengan PRRI/Permesta. Gerakan itu menganggap bahwa
pemerintah pusat mengabaikan pembangunan daerah-daerah. Mereka menuntut agar
diadakan pergantian kabinet. Dalam tubuh kabinet itu sendiri terjadi perpecahan
antara PNI dengan Masyumi. Masyumi menghendaki agar Ali Sastroamidjojo
menyerahkan mandatnya kepada presiden sesuai dengan tuntutan daerah. Sedangkan
Ali Sastroamidjojo berpendapat bahwa kabinet tidak wajib mengambalikan
mandatnya hanya karena tuntutan daerah.
Pada bulan Januari 1957, Masyumi menarik semua menterinya
dari kabinet. Peristiwa itu sangat melemahkan kedudukan kabinet Ali
Sastroamidjojo, sehingga pada tanggal 14 Maret 1957 Ali Sastroamidjojo akhirnya
menyerahkan mandatnya kepada presiden. Oleh karena situasi negara yang kacau
akibat terjadinya gerakan separatisme, dan konflik dalam konstituante, maka
presiden menyatakan negara dalam keadaan bahaya (14 Maret 1957). Pertentangan
politik semakin meluas, sehingga pembentukan kabinet baru semakin bertambah
sulit. Sementara itu, partai-partai masih tetap menempuh cara tawar-menawar
kedudukan dalam membentuk kabinet baru. Akhirnya atas dasar keadaan darurat
itu, presiden menunjuk dirinya sendiri menjadi pembentuk kabinet. Presiden
berhasil membentuk kabinet baru yang disebut dengan Kabinet Karya dan menunjuk
Ir. Djuanda sebagai perdana menteri.
7. Kabinet Karya (9 April 1957 - 10 Juli 1959)
Kabinet Karya resmi dilantik pada tanggal 9 April 1957 dalam situasi negara
yang sangat memprihatinkan. Kabinet Karya merupakan zaken kabinet (kabinet
kerja) yaitu kabinet yang tidak berdasarkan atas dukungan dari parlemen karena
kondisi negara dalam keadaan darurat, tetapi lebih berdasarkan keahlian. Di
bawah perdana menteri terdapat tiga orang wakil perdana menteri, yaitu Hardi,
Idham Chalid dan Leimena. Tugas dari kabinet ini sangatlah berat terutama
menghadapi pergolakan-pergolakan yang terjadi di berbagai daerah, perjuangan
mengembalikan Irian Barat ke dalam wilayah Indonesia dan menghadapi masalah
ekonomi serta keuangan yang sangat buruk. Untuk mengatasi masalah tersebut,
Kabinet Karya menyusun 5 pasal yang disebut Pancakarya. Program-program dari
kabinet ini di antaranya sebagai berikut.
1) Membentuk Dewan Nasional.
2) Normalisasi keadaan republik.
3) Melancarkan pelaksanaan pembatalan persetujuan KMB.
4) Memperjuangkan Irian Barat.
5) Mempercepat proses pembangunan Dewan Nasional
merupakan suatu badan baru yang bertujuan menampung dan menyalurkan aspirasi
dari kekuatan-kekuatan nonpartai yang ada di masyarakat. Walaupun dewan ini
telah terbentuk, namun kesulitan-kesulit-an yang dihadapi oleh negara semakin
meningkat. Terjadinya pergolakan di daerah-daerah yang menyebabkan terganggunya
hubungan antara pusat dengan daerah masih terus berlangsung. Hal ini
mengakibatkan sistem perekonomian nasional semakin bertambah parah.
Dalam upaya menghadapi pergolakan daerah, pemerintah menyelenggarakan Musyawarah Nasional (Munas) pada tanggal 14 September 1957. Pada Munas itu dibahas masalah pembangunan nasional dan daerah, pembangunan angkatan perang serta pembagian wilayah Republik Indonesia. Ketegangan yang terjadi antara pusat dan daerah serta antar kelompok masyarakat berhasil diatasi dengan baik. Sebagai upaya mewujudkan keputusan Munas, maka pada bulan Desember 1957 diselenggarakan Musyawarah Nasional Pembangunan (Munap). Dalam Munap ini disusun rencana pembangunan yang dapat memenuhi harapan daerah.
Upaya pemerintah untuk mengatasi masalah pembangunan belum dapat direalisasikan, karena muncul berbagai peristiwa nasional yang segera harus ditangani oleh pemerintah. Peristiwa yang dimaksud itu adalah Peristiwa percobaan pembunuhan atas diri Presiden Soekarno pada tanggal 30 November 1957. Peristiwa itu kemudian lebih dikenal dengan Peristiwa Cikini. Pelaku peristiwa itu diduga para pemuda pendukung Zulkifli Lubis. Persatuan nasional yang semakin terancam, semakin diperburuk dengan munculnya Gerakan Perjuangan Menyelamatkan Negara Republik Indonesia pada tanggal 10 Februari 1958, yang diketuai oleh Ahmad Husein dan mendapat dukungan dari Lubis, Simbolon, Dahlan Jambek, Natsir dan Sumitro Djojohadikusumo. Bersamaan dengan berdirinya gerakan itu, mereka mengirimkan ultimatum kepada pemerintah yang berisi tuntutan pem-bubaran Kabinet Karya dan pembentukan kabinet baru yang dipimpin oleh Moh. Hatta dan Sri Sultan Hamengku Buwono IX.
Selain itu presiden diminta bertindak secara konstitusional
dan agar tuntutan itu dipenuhi dalam waktu 5 x 24 jam. Kabinet Karya mencatat
prestasi gemilang, yaitu keberhasilan mengatur kembali batas perairan nasional
Indonesia, dengan keluarnya Deklarasi Djuanda pada tanggal 13 Desember 1957.
Deklarasi Djuanda mengatur tentang laut pedalaman dan laut teritorial. Dalam
peraturan lama disebutkan bahwa laut teritorial itu selebar 6 mil dari garis
dasar sewaktu air surut. Apabila hal itu diberlakukan, maka di wilayah
Indonesia akan terdapat laut bebas seperti Laut Jawa, Laut Flores dan lain
sebagainya. Melalui Deklarasi Djuanda itulah terciptanya Kesatuan Wilayah
Indonesia, yaitu lautan dan daratan merupakan satu kesatuan yang utuh dan
bulat.
Tidak ada komentar