SISTEM TANAM PAKSA DI INDONESIA
Akibat sistem yang memakmurkan dan menyejahterakan negeri Belanda ini, Van den Bosch selaku penggagas dianugerahi gelar Graaf oleh raja Belanda, pada 25 Desember 1939.
Mari mengetahui pengertian sistem tanam paksa, latar belakangnya, aturan - aturannya dan dampaknya
1. Pengertian sistem tanam paksa
Cultuurstelsel sebenarnya berarti
kewajiban rakyat (Jawa) untuk menanam tanaman ekspor yang laku dijual di Eropa.
Rakyat pribumi menerjemahkan cultuurstelsel dengan sebutan tanam paksa karena
pelaksanaannya dilakukan dengan pemaksaan. Pelanggar tanam paksa dikenakan
hukuman fisik yang berat, seperti dikutip dari buku Sejarah untuk Kelas 2 SMA
oleh M. Habib Mustopo.
Tanam Paksa adalah salah satu
kebijakan dari pemerintah kolonial Belanda dari tahun 1830 sampai
dengan 1870. Sistem Tanam Paksa ini membebankan petani dan rakyat yang
tidak memiliki lahan, karena pengerjaan sistem ini mengerahkan masyarakat
untuk menanam tanaman yang laku di Eropa.
Petani yang awalnya punya waktu lebih banyak untuk bertani, dibebankan untuk menanam tanaman-tanaman tersebut. Makanya, rakyat pribumi mengartikan cultuurstelsel dengan sebutan tanam paksa karena pengerjaan penanaman tersebut dilakukan secara terpaksa dan bukan suka rela.
2. Latar belakang
Sistem tanam paksa pemerintah
kolonial Belanda dilaksanakan karena sejumlah peristiwa dan kondisi saat itu,
di antaranya sebagai berikut:
1. Belanda menghabiskan biaya yang besar karena
terlibat dalam peperangan di masa kejayaan Napoleon Bonaparte di Eropa
2. Terjadinya Perang Kemerdekaan Belgia yang
diakhiri dengan pemisahan Belgia dari Belanda pada 1830.
3. Belanda menghabiskan biaya hingga sekitar 20
juta gulden untuk menghadapi Perang Diponegoro (1825-1830). Perang Diponegoro
adalah perlawanan rakyat jajahan termahal bagi Belanda.
4.
Kas negara Belanda kosong dan utang yang
ditanggung Belanda cukup berat.
5.
Pemasukan uang dari penanaman kopi tidak banyak.
6.
Kegagalan upaya mempraktikkan gagasan liberal
(1816-1830) dalam mengeksploitasi tanah jajahan agar memberikan keuntungan yang
besar bagi negeri induk (Belanda).
Tokoh pencetus sistem tanam paksa
adalah van den Bosch. Usul cultuurstelsel membuat van den Bosch diangkat
sebagai Gubernur Jenderal Hindia Belanda. Tugas utama van den Bosch adalah
mendapatkan keuntungan sebesar-besarnya dari negeri jajahan untuk mengisi kas
Belanda yang kosong dan membayar utang-utang Belanda.
Sistem Tanam Paksa di Jawa
Tujuan tanam paksa adalah
merangsang produksi dan ekspor komoditas pertanian yang laku di pasar dunia.
Untuk menyukseskan cultuurstelsel, pemerintah kolonial memberikan pinjaman uang
pada orang-orang yang bersedia membangun pabrik atau penggilingan.
Pemerintah kolonial Belanda juga
menyediakan batang tebu mentah dan tenaga kerja untuk pengusaha tebu. Perluasan
tanaman dagang untuk pasar dunia mendorong munculnya modal swasta dengan jumlah
besar. Modal swasta ini memunculkan masalah-masalah lain dalam pelaksanaan
tanam paksa.
Peraturan pokok sistem tanam paksa terdapat dalam lembaran negara Staatblad Tahun 1834 No. 22. Aturan ini diterbitkan beberapa tahun setelah tanam paksa dijalankan di Pulau Jawa. Aturan tanam paksa yaitu:
1. Persetujuan-persetujuan akan diadakan dengan
penduduk agar mereka menyediakan sebagian dari tanahnya untuk penanaman tanaman
ekspor yang dapat dijual di pasar Eropa.
2. Tanah pertanian yang disediakan penduduk untuk
tujuan tersebut tidak boleh melebihi seperlima dari tanah pertanian yang
dimiliki pend duduk untuk tujuan tersebut tidak boleh melebihi
seperlima dari tanah pertanian yang dimiliki penduduk desa
3. Pekerjaan yang diperlukan untuk menanam tanaman
tersebut tidak boleh melebihi pekerjaan untuk menanam tanaman padi
4. Tanah yang disediakan penduduk tersebut bebas
dari pajak tanah
5.
Hasil tanaman diserahkan kepada pemerintah
Hindia Belanda. Jika harganya ditaksir melebihi pajak tanah yang harus dibayar
rakyat, kelebihan tersebut diberikan kepada pendudukan.
6.
Kegagalan panen yang bukan karena kesalahan
petani akan menjadi tanggungan pemerintah.
7. Bagi yang tidak memiliki tanah akan dipekerjakan
pada perkebunan atau pabrik-pabrik milik pemerintah selama 65 hari setiap
tahun.
8.
Pelaksanaan tanam paksa diserahkan kepada
pemimpin-pemimpin pribumi. Pegawai-pegawai Eropa bertindak sebagai pengawas
secara umum.
Penyimpangan dalam sistem tanam
paksa membuat praktik aturan pokok tanam paksa pada kenyataannya jauh lebih
merugikan rakyat. Penyimpangan dalam sistem tanam paksa adalah sebagai berikut:
1. Pelaksanaan cultuurstelsel seharusnya sukarela,
tetapi dilaksanakan dengan cara-cara paksaan. Pemerintah kolonial Belanda
memanfaatkan bupati dan kepala desa untuk memaksa rakyat agar menyerahkan tanah
mereka.
2. Luas tanah yang disediakan penduduk lebih dari
seperlima. Seringkali adalah sepertiga hingga seluruh tanah desa agar
memudahkan pengerjaan, pengairan, dan pengawasan oleh pemerintah kolonial
Belanda.
3. Pengerjaan tanaman ekspor seringkali jauh
melebihi pengerjaan tanaman padi. Penduduk juga dikerahkan untuk menggarap
perkebunan yang letaknya jauh dari desa mereka selama tujuh bulan. Para
penduduk tidak terurus dan tanah pertanian mereka terbengkalai.
4. Pajak tanah masih dikenakan pada tanah yang
digunakan untuk proyek tanam paksa.
5. Kelebihan hasil panen setelah diperhitungkan
dengan pajak tidak dikembalikan pada petani.
6. Kegagalan panen menjadi tanggung jawab petani.
7. Buruh dijadikan tenaga paksaan seperti yang
terjadi di Rembang, Jawa Tengah. Sebanyak 34.000 keluarga selama 8 bulan setiap
tahun diharuskan mengerjakan tanaman dagang dengan upah sangat kecil. Rakyat
juga harus menyerahkan balok, bambu, dan kayu untuk pembuatan bangunan yang
akan digunakan untuk tanaman tembakau.
Untuk memastikan bupati dan kepala desa mengerjakan tugasnya pada sistem tanam
paksa, pemerintah kolonial memberi suap berupa cultuur procenten. Cultuur
procenten adalah sistem pemberian hadiah untuk bupati dan kepala desa yang bisa
menyerahkan hasil panen warganya melebihi ketentuan yang ditetapkan penjajah.
Dampak positif tanam paksa bagi
penduduk jawa adalah dikenalkannya tanaman-tanaman ekspor yang laku di dunia.
Karena, kebanyakan dari tanaman ekspor tersebut bukan asli dari Indonesia.
Misalnya nih, kopi berasal dari Afrika dan teh yang berasal dari
Asia Timur (Cina, Korea, dan Jepang).
Walaupun dua tanaman itu sudah
ada jauh sebelum tanam paksa, kebijakan ini memberikan alternatif dan
pengetahuan bagi para petani lokal untuk membudidayakan bibit dan tanaman
ekspor ini dengan iklim dan tanah di Jawa. Tentunya hal ini menjadi dampak
positif tanam paksa karena budidaya tanaman ekspor tersebut terus berlangsung.
Di sisi lain, dampak negatif
dari tanam paksa adalah sistem yang sangat membebankan pada rakyat dan para
pekerja. Uang yang dihasilkan dari tanam paksa langsung menjadi milik negara
Belanda dan tidak langsung terasa oleh rakyat biasa yang mungkin
mendapatkan upah kecil.
Hal ini yang kemudian menjadi
perhatian kaum liberal di Belanda. Mereka merasa bahwa apa yang terjadi di
Hindia Belanda merupakan satu bentuk kenyiksaan bagi rakyat jajahan. Beberapa
dari mereka kemudian mengusulkan untuk memberikan pendidikan bagi
masyarakat Hindia Belanda.



Tidak ada komentar