Tokoh Nasional dan Tokoh Daerah dalam Perjuangan Kemerdekaan | Sejarah Indonesia XI Sem. 2
KEGIATAN PEMBELAJARAN 1
PERAN
TOKOH- TOKOH NASIONAL DALAM PERJUANGAN KEMERDEKAAN INDONESIA
1. Ir. Soekarno
Gambar : Ir. Soekarno
Soekarno lahir dengan nama Kusno yang
diberikan oleh orang tua nya. Akan tetapi, karena ia
sering sakit maka ketika berumur sebelas tahun namanya diubah menjadi Soekarno
oleh ayahnya. Nama tersebut diambil
dari seorang panglima perang dalam kisah Bharata
Yudha yaitu Karna.
Nama "Karna" menjadi "Karno" karena dalam bahasa
Jawa huruf "a" berubah menjadi
"o" sedangkan awalan "su" memiliki arti "baik".
Di
kemudian hari ketika menjadi presiden, ejaan nama Soekarno diganti olehnya
sendiri menjadi Sukarno karena menurutnya nama tersebut
menggunakan ejaan penjajah (Belkalian). Ia tetap
menggunakan nama Soekarno dalam
tkalian tangannya karena tkalian tangan tersebut adalah tkalian tangan yang tercantum dalam Teks Proklamasi Kemerdekaan Indonesia yang tidak boleh diubah, selain itu tidak mudah untuk
mengubah tkalian tangan setelah berumur 50 tahun.
Sebutan akrab untuk Soekarno
adalah Bung Karno.
Di
beberapa negara Barat, nama Soekarno kadang-kadang ditulis Achmed Soekarno. Hal ini
terjadi karena ketika Soekarno
pertama kali berkunjung ke Amerika
Serikat, sejumlah wartawan
bertanya-tanya, "Siapa nama kecil Soekarno?" karena mereka tidak mengerti kebiasaan
sebagian masyarakat di Indonesia
yang hanya menggunakan satu nama saja atau tidak memiliki nama keluarga.
Soekarno menyebutkan bahwa nama Achmed didapatnya ketika menunaikan ibadah haji.[9] Dalam beberapa
versi lain,disebutkan pemberian
nama Achmed di depan
nama Soekarno, dilakukan oleh para diplomat muslim asal Indonesia
yang sedang melakukan
misi luar negeri dalam upaya untuk mendapatkan pengakuan kedaulatan negara
Indonesia oleh negara-negara Arab.
Soekarno
dilahirkan dengan seorang ayah yang bernama Raden
Soekemi Sosrodihardjo dan
ibunya yaitu Ida Ayu Nyoman Rai. Keduanya bertemu
ketika Raden Soekemi yang merupakan
seorang guru ditempatkan di Sekolah
Dasar Pribumi
di Singaraja,
Bali.[5] Nyoman Rai merupakan
keturunan bangsawan dari Bali dan
beragama Hindu,
sedangkan Raden Soekemi sendiri beragama Islam. Mereka
telah memiliki seorang
putri yang bernama
Sukarmini sebelum Soekarno lahir. Ketika kecil Soekarno
tinggal bersama kakeknya, Raden
Hardjokromo
di Tulung Agung,
Jawa Timur.
Ia
bersekolah pertama kali di Tulung Agung hingga akhirnya ia pindah ke Mojokerto, mengikuti orangtuanya yang ditugaskan di kota tersebut.
Di Mojokerto, ayahnya
memasukan Soekarno ke Eerste Inlandse School, sekolah tempat ia bekerja. Kemudian
pada Juni 1911 Soekarno dipindahkan ke Europeesche Lagere School (ELS) untuk memudahkannya diterima di Hogere Burger School (HBS). Pada tahun 1915, Soekarno
telah menyelesaikan pendidikannya di ELS dan berhasil
melanjutkan ke HBS di Surabaya, Jawa Timur. Ia dapat diterima di HBS atas bantuan seorang
kawan bapaknya yang bernama H.O.S. Tjokroaminoto. Tjokroaminoto bahkan memberi tempat tinggal bagi Soekarno di pondokan kediamannya. Di Surabaya, Soekarno
banyak bertemu dengan para pemimpin Sarekat
Islam, organisasi yang dipimpin
Tjokroaminoto saat itu, seperti Alimin, Musso, Darsono, Haji Agus Salim, dan
Abdul Muis. Soekarno kemudian aktif dalam
kegiatan organisasi pemuda Tri Koro Dharmo yang
dibentuk sebagai organisasi dari Budi
Utomo. Nama organisasi tersebut kemudian
ia ganti menjadi
Jong Java (Pemuda Jawa) pada 1918. Selain itu, Soekarno
juga aktif menulis
di harian "Oetoesan Hindia" yang dipimpin oleh Tjokroaminoto.
Tamat
HBS
Soerabaja bulan Juli
1921,
bersama Djoko Asmo rekan satu angkatan di HBS, Soekarno
melanjutkan pendidikannya ke Technische Hoogeschool te
Bandoeng (sekarang ITB)
di Bandung
dengan mengambil jurusan teknik sipil pada
tahun 1921, setelah dua bulan dia meninggalkan kuliah, tetapi pada tahun 1922 mendaftar kembali dan tamat pada tahun 1926. Soekarno dinyatakan lulus ujian insinyur pada tanggal 25
Mei 1926 dan pada Dies
Natalis ke-6 TH Bandung tanggal 3 Juli 1926 dia diwisuda bersama
delapan belas insinyur lainnya.
Prof. Jacob Clay selaku ketua fakultas pada saat itu menyatakan "Terutama penting
peristiwa itu bagi kita karena
ada di antaranya 3 orang insinyur orang Jawa".
Mereka adalah Soekarno, Anwari, dan Soetedjo, selain itu ada seorang lagi dari
Minahasa yaitu Johannes Alexander Henricus Ondang.
Saat di Bandung, Soekarno
tinggal di kediaman
Haji Sanusi yang merupakan anggota Sarekat
Islam dan sahabat karib Tjokroaminoto. Di sana
ia berinteraksi dengan Ki Hajar Dewantara, Tjipto Mangunkusumo, dan Dr. Douwes Dekker,
yang
saat itu merupakan pemimpin organisasi National Indische Partij.
Ir. Soekarno
pada tahun 1926 mendirikan biro insinyur bersama
Ir. Anwari, banyak
mengerjakan rancang bangun bangunan. Selanjutnya bersama Ir. Rooseno juga merancang dan membangun rumah-rumah dan jenis bangunan
lainnya. Ketika dibuang di Bengkulu,
Ia menyempatkan merancang beberapa rumah
dan merenovasi total masjid
Jami' di tengah kota.
Semasa menjabat
sebagai presiden, beliau membuat beberapa
karya arsitektur, dalam
perjalanan secara maraton dari bulan Mei sampai Juli pada tahun 1956
ke negara-negara Amerika Serikat, Kanada, Italia,
Jerman Barat, dan Swiss. la membuat alam
pikir Soekarno semakin kaya dalam menata Indonesia secara holistik dan menampilkannya sebagai negara yang baru merdeka.
Soekarno membidik
Jakarta sebagai wajah (muka) Indonesia
terkait beberapa kegiatan
berskala internasional yang diadakan di kota ini, namun juga merencanakan sebuah kota sejak awal yang diharapkan sebagai
pusat pemerintahan pada masa datang. Beberapa
karya dipengaruhi oleh Soekarno atau atas perintah
dan koordinasinya dengan beberapa arsitek
seperti Frederich Silaban dan R.M. Soedarsono,
dibantu beberapa arsitek junior untuk visualisasi. Beberapa desain arsitektural juga dibuat melalui
sayembara.
· Gedung Conefo
· Gedung Sarinah
· Tugu Selamat
Datang
· Monumen Pembebasan Irian Barat
Tahun 1955 Ir. Soekarno
menunaikan ibadah haji ke Tanah Suci dan sebagai seorang
arsitek, Soekarno tergerak
memberikan sumbangan ide arsitektural kepada pemerintah Arab
Saudi agar membuat bangunan untuk melakukan sa’i menjadi
dua jalur dalam bangunan dua lantai. Pemerintah Arab Saudi akhirnya melakukan
renovasi Masjidil Haram secara besar-besaran pada tahun 1966, termasuk pembuatan lantai bertingkat bagi umat yang melaksanakan sa’i menjadi dua jalur dan lantai
bertingkat untuk melakukan
tawaf.
Soekarno untuk pertama kalinya
menjadi terkenal ketika dia menjadi
anggota Jong Java cabang Surabaya
pada tahun 1915. Bagi Soekarno
sifat organisasi
tersebut yang Jawa-sentris dan hanya memikirkan kebudayaan saja merupakan tantangan tersendiri. Dalam
rapat pleno tahunan yang diadakan Jong Java cabang Surabaya Soekarno
menggemparkan sidang dengan berpidato menggunakan bahasa
Jawa ngoko
(kasar). Sebulan kemudian dia mencetuskan
perdebatan sengit dengan menganjurkan agar surat kabar Jong Java
diterbitkan dalam bahasa Melayu saja,
dan bukan dalam bahasa Belkalian.
Pada
tahun 1926, Soekarno mendirikan Algemeene Studie Club (ASC) di Bandung yang merupakan hasil inspirasi
dari Indonesische Studie Club oleh Dr. Soetomo. Organisasi ini menjadi cikal bakal Partai Nasional Indonesia yang
didirikan pada tahun 1927. Aktivitas Soekarno
di PNI menyebabkannya ditangkap Belkalian pada tanggal 29 Desember 1929 di Yogyakarta dan esoknya dipindahkan ke Bandung, untuk dijebloskan ke Penjara Banceuy. Pada tahun 1930 ia dipindahkan ke Sukamiskin dan di pengadilan Landraad
Bandung 18 Desember
1930 ia membacakan pledoinya yang fenomenal Indonesia Menggugat, hingga dibebaskan kembali pada tanggal
31 Desember 1931.
Pada bulan Juli 1932, Soekarno
bergabung dengan Partai Indonesia (Partindo), yang merupakan pecahan dari
PNI. Soekarno kembali ditangkap pada bulan Agustus
1933, dan diasingkan ke Flores. Di sini,
Soekarno hampir dilupakan
oleh tokoh-tokoh nasional. Namun semangatnya tetap membara seperti tersirat dalam setiap suratnya kepada seorang Guru Persatuan Islam bernama Ahmad Hasan.
Pada tahun 1938 hingga tahun 1942 Soekarno diasingkan ke Provinsi Bengkulu, ia baru kembali bebas
pada masa penjajahan Jepang pada tahun 1942.
Pada awal masa penjajahan Jepang (1942–1945), pemerintah Jepang sempat
tidak memerhatikan tokoh-tokoh pergerakan Indonesia terutama
untuk "mengamankan" keberadaannya di Indonesia. Ini terlihat pada Gerakan 3A dengan tokohnya Shimizu dan Mr. Syamsuddin yang
kurang begitu populer.
Namun akhirnya,
pemerintahan pendudukan Jepang memerhatikan dan sekaligus
memanfaatkan tokoh-tokoh Indonesia seperti Soekarno, Mohammad Hatta, dan lain-lain
dalam setiap organisasi-organisasi dan lembaga lembaga
untuk menarik hati penduduk Indonesia. Disebutkan dalam berbagai
organisasi seperti Jawa
Hokokai, Pusat Tenaga Rakyat (Putera),
BPUPKI
dan PPKI,
tokoh tokoh seperti Soekarno, Hatta, Ki Hajar Dewantara, K.H. Mas Mansyur, dan
lain- lainnya disebut-sebut dan terlihat begitu
aktif. Dan akhirnya
tokoh-tokoh nasional bekerja
sama dengan pemerintah pendudukan Jepang untuk mencapai kemerdekaan Indonesia, meski ada pula yang
melakukan gerakan bawah tanah seperti
Sutan
Syahrir dan Amir Sjarifuddin karena menganggap Jepang
adalah fasis yang berbahaya.
Presiden
Soekarno sendiri, saat pidato pembukaan menjelang pembacaan teks proklamasi kemerdekaan, mengatakan bahwa meski sebenarnya kita bekerja sama dengan Jepang sebenarnya kita
percaya dan yakin serta mengkalianlkan kekuatan sendiri.
Ia aktif dalam usaha persiapan
kemerdekaan Indonesia, di antaranya adalah merumuskan Pancasila, UUD 1945, dan
dasar dasar pemerintahan Indonesia termasuk merumuskan naskah proklamasi Kemerdekaan. Ia sempat dibujuk
untuk menyingkir ke Rengasdengklok.
Pada
tahun 1943, Perdana Menteri Jepang Hideki Tojo mengundang
tokoh Indonesia yakni Soekarno,
Mohammad Hatta, dan Ki Bagoes Hadikoesoemo ke
Jepang dan diterima langsung oleh Kaisar Hirohito.
Bahkan kaisar memberikan Bintang
kekaisaran (Ratna Suci) kepada tiga tokoh Indonesia
tersebut. Penganugerahan Bintang
itu membuat pemerintahan pendudukan Jepang terkejut,
karena hal itu berarti bahwa ketiga tokoh Indonesia itu dianggap keluarga
Kaisar Jepang sendiri.
Pada bulan Agustus
1945, ia diundang
oleh Marsekal Terauchi, pimpinan Angkatan
Darat wilayah Asia Tenggara di Dalat Vietnam yang kemudian
menyatakan bahwa proklamasi kemerdekaan Indonesia adalah urusan rakyat Indonesia sendiri.
Namun
keterlibatannya dalam badan-badan organisasi bentukan Jepang membuat Soekarno dituduh oleh Belkalian
bekerja sama dengan Jepang, antara lain dalam kasus romusha.Gambar : Ruang tamu rumah persembunyian Bung Karno di Rengasdengklok.
Soekarno bersama
tokoh-tokoh nasional mulai mempersiapkan diri menjelang
Proklamasi kemerdekaan Republik Indonesia.
Setelah sidang Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI), Panitia
Kecil yang terdiri dari delapan orang (resmi),
Panitia Sembilan (yang menghasilkan Piagam Jakarta)
dan Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI),
Soekarno-Hatta mendirikan Negara
Indonesia berdasarkan Pancasila
dan UUD 1945.
Setelah
menemui Marsekal Terauchi di Dalat,
Vietnam, terjadilah Peristiwa Rengasdengklok pada
tanggal 16
Agustus 1945; Soekarno dan Mohammad Hatta dibujuk
oleh para pemuda untuk menyingkir ke asrama pasukan Pembela Tanah Air (PETA) Rengasdengklok. Tokoh pemuda yang membujuk antara lain Soekarni, Wikana,
Singgih serta Chairul
Saleh. Para pemuda menuntut agar Soekarno
dan Hatta segera memproklamasikan
kemerdekaan Indonesia, karena di Indonesia terjadi kevakuman kekuasaan. Ini disebabkan karena Jepang sudah
menyerah dan pasukan Sekutu belum tiba. Namun Soekarno,
Hatta dan para tokoh menolak dengan
alasan menunggu kejelasan mengenai penyerahan Jepang. Alasan lain yang berkembang adalah Soekarno menetapkan momen tepat untuk kemerdekaan Indonesia
yakni dipilihnya tanggal
17 Agustus 1945 saat itu bertepatan dengan bulan Ramadhan,
bulan suci kaum muslim yang diyakini merupakan
bulan turunnya wahyu pertama kaum muslimin kepada Nabi Muhammad SAW yakni Al
Qur-an. Pada tanggal 18 Agustus 1945,
Soekarno dan Mohammad Hatta diangkat oleh PPKI menjadi
Presiden dan Wakil Presiden Republik
Indonesia. Pada tanggal
29 Agustus 1945 pengangkatan menjadi
presiden dan wakil presiden dikukuhkan oleh KNIP.
Pada tanggal 19 September 1945 kewibawaan Soekarno
dapat menyelesaikan tanpa pertumpahan darah peristiwa
Lapangan Ikada tempat 200.000 rakyat Jakarta akan bentrok dengan pasukan
Jepang yang masih
bersenjata lengkap.
ada
saat kedatangan Sekutu (AFNEI) yang dipimpin oleh Letjen. Sir Phillip Christison,
Christison akhirnya mengakui kedaulatan Indonesia secara de facto setelah
mengadakan pertemuan dengan Presiden Soekarno. Presiden Soekarno juga berusaha menyelesaikan krisis di
Surabaya. Namun akibat provokasi yang dilancarkan pasukan
NICA (Belkalian) yang membonceng Sekutu (di bawah Inggris),
meledaklah Peristiwa 10 November
1945 di Surabaya dan gugurnya Brigadir Jenderal A.W.S Mallaby.
Karena
banyak provokasi di Jakarta
pada waktu itu, Presiden Soekarno akhirnya
memindahkan Ibukota Republik Indonesia dari Jakarta ke Yogyakarta. Diikuti wakil presiden dan pejabat
tinggi negara lainnya.
Kedudukan Presiden
Soekarno menurut UUD 1945 adalah kedudukan Presiden
selaku kepala pemerintahan dan kepala negara (presidensiil/single executive). Selama
revolusi kemerdekaan, sistem pemerintahan berubah menjadi semi
presidensiil atau double executive.
Presiden Soekarno sebagai Kepala Negara dan
Sutan Syahrir sebagai Perdana Menteri/Kepala Pemerintahan. Hal itu terjadi karena adanya maklumat wakil presiden No
X, dan maklumat pemerintah bulan November
1945 tentang partai politik. Hal ini ditempuh agar Republik Indonesia dianggap
negara yang lebih demokratis.
Meski sistem pemerintahan berubah,
pada saat revolusi
kemerdekaan, kedudukan
Presiden Soekarno tetap paling penting, terutama dalam menghadapi Peristiwa Madiun 1948 serta
saat Agresi Militer Belkalian II yang menyebabkan Presiden Soekarno, Wakil Presiden Mohammad
Hatta dan sejumlah
pejabat tinggi negara ditahan Belkalian. Meskipun sudah
ada Pemerintahan Darurat Republik Indonesia (PDRI) dengan ketua Sjafruddin Prawiranegara, tetapi pada kenyataannya dunia internasional dan situasi dalam
negeri tetap mengakui
bahwa Soekarno-Hatta adalah pemimpin Indonesia
yang sesungguhnya, hanya kebijakannya yang dapat menyelesaikan sengketa Indonesia-Belkalian.
Setelah Pengakuan
Kedaulatan (Pemerintah Belkalian menyebutkan sebagai Penyerahan Kedaulatan), Presiden Soekarno diangkat
sebagai Presiden Republik Indonesia Serikat (RIS) dan Mohammad Hatta diangkat sebagai
perdana menteri RIS. Jabatan
Presiden Republik Indonesia diserahkan kepada Mr Assaat, yang
kemudian dikenal sebagai
RI Jawa-Yogya. Namun karena tuntutan
dari seluruh rakyat Indonesia yang ingin kembali ke negara kesatuan,
maka pada tanggal 17 Agustus 1950,
RIS kembali berubah menjadi Republik Indonesia dan Presiden Soekarno menjadi Presiden RI. Mkaliant Mr Assaat
sebagai pemangku jabatan Presiden RI
diserahkan kembali kepada Soekarno. Resminya kedudukan Presiden Soekarno adalah presiden konstitusional, tetapi pada kenyataannya kebijakan pemerintah dilakukan setelah berkonsultasi
dengannya.
Mitos Dwitunggal Soekarno-Hatta cukup populer
dan lebih kuat di kalangan
rakyat dibandingkan terhadap kepala
pemerintahan yakni perdana
menteri. Jatuh bangunnya kabinet yang terkenal
sebagai "kabinet seumur jagung" membuat
Presiden Soekarno kurang memercayai sistem multipartai, bahkan
menyebutnya sebagai "penyakit
kepartaian". Tak jarang, ia juga ikut turun tangan menengahi konflik-konflik di tubuh militer yang juga berimbas
pada jatuh bangunnya kabinet. Seperti peristiwa 17 Oktober
1952 dan Peristiwa
di kalangan Angkatan
Udara.
Presiden Soekarno
juga banyak memberikan gagasan-gagasan di dunia Internasional.
Keprihatinannya terhadap nasib bangsa Asia-Afrika,
masih belum merdeka, belum mempunyai
hak untuk menentukan nasibnya sendiri, menyebabkan presiden Soekarno, pada tahun
1955, mengambil inisiatif untuk mengadakan Konferensi Asia-Afrika di Bandung
yang menghasilkan Dasasila Bandung. Bandung dikenal
sebagai Ibu Kota Asia-Afrika. Ketimpangan dan konflik akibat "bom waktu" yang
ditinggalkan negara-negara barat yang dicap masih mementingkan imperialisme
dan kolonialisme,
ketimpangan dan kekhawatiran akan
munculnya perang nuklir yang mengubah peradaban, ketidakadilan badan- badan dunia
internasional dalam penyelesaian konflik juga menjadi
perhatiannya.
Bersama Presiden
Josip Broz Tito (Yugoslavia), Gamal Abdel Nasser (Mesir), Mohammad Ali Jinnah (Pakistan),
U
Nu, (Birma) dan Jawaharlal Nehru (India)
ia mengadakan Konferensi Asia Afrika yang membuahkan Gerakan Non Blok. Berkat jasanya
itu, banyak negara Asia Afrika yang memperoleh kemerdekaannya. Namun
sayangnya, masih banyak pula yang mengalami konflik berkepanjangan sampai saat ini karena ketidakadilan dalam pemecahan
masalah, yang masih dikuasai
negara-negara kuat atau adikuasa. Berkat
jasa ini pula, banyak penduduk
dari kawasan Asia Afrika yang tidak lupa akan Soekarno bila ingat atau
mengenal akan Indonesia.
Guna menjalankan politik luar negeri yang bebas-aktif dalam dunia internasional, Presiden Soekarno mengunjungi berbagai negara dan bertemu dengan pemimpin-pemimpin negara. Di
antaranya adalah Nikita Khruschev (Uni Soviet),
John Fitzgerald Kennedy (Amerika Serikat), Fidel
Castro (Kuba),
Mao
Tse Tung
(Tiongkok).
Pada
masa pra maupun paska kemerdekaan, Indonesia terjepit pada dua blok negara Adi Kuasa dengan ideologi yang
bertentangan satu sama lain. Blok kapitalis
yang dikomandoi Amerika dan sekutu di satu sisi, dan blok kiri yang diperebutkan antara poros Rusia dan
Tiongkok. Amerika melakukan kebijakan embargo terhadap
Indonesia karena menilai
kecenderungan Soekarno dekat dengan blok rival. Amerika
tidak dapat berkutik
ketika Allen Lawrence Pope, agen Central Intelligence Agency tertangkap tangan. Tawar-menawar penangkapan Allen Pope, Amerika
Serikat akhirnya menyudahi
embargo ekonomi dan menyuntik
dana ke Indonesia, termasuk menggelontorkan 37 ribu ton beras dan ratusan
persenjataan yang dibutuhkan Indonesia saat itu setelah diplomasi
tingkat tinggi antara John F. Kennedy dengan Soekarno.[25] Sementara Uni Soviet menerapkan embargo militer terhadap
Indonesia karena genosida
terhadap elemen kiri, orang Partai Komunis Indonesia
pada
tahun 1965–1967.[26] Indonesia sendiri
terjepit di antara geopolitik Asia Tenggara, Malaysia
yang dianggap Soekarno adalah negara boneka Inggris,
juga Singapura yang memisahkan diri sebagai negara baru pada 9 Agustus
1965. Soekarno mengumumkan sikap konfrontatif
terhadap pembentukan negara federasi Malaysia pada Januari 1963. Sehingga
pada 1964–1965 negara federasi Malaysia
yang dideklarasikan 16 September
1963 tersebut diembargo Soekarno. Singapura membuka keran kerja sama dan berusaha dengan segala cara untuk
mempertahankan perdagangan dengan Indonesia
meski telah diboikot
dan diembargo. Hal ini dianggap
merugikan aspek ekonomi bagi Singapura akibat konfrontasi tersebut.
Situasi politik Indonesia menjadi tidak menentu setelah
enam jenderal dibunuh dalam peristiwa yang dikenal
dengan sebutan Gerakan 30 September atau
G30S pada 1965. Pelaku sesungguhnya dari peristiwa tersebut
masih merupakan kontroversi
walaupun PKI dituduh terlibat di dalamnya. Kemudian massa dari KAMI (Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia) dan KAPI
(Kesatuan Aksi Pelajar Indonesia)
melakukan aksi demonstrasi dan menyampaikan Tri Tuntutan Rakyat (Tritura) yang
salah satu isinya meminta agar PKI dibubarkan. Namun, Soekarno menolak untuk membubarkan PKI karena bertentangan dengan pkalianngan Nasakom
(Nasionalisme, Agama, Komunisme). Sikap
Soekarno yang menolak membubarkan PKI kemudian melemahkan posisinya dalam
politik.
Lima
bulan kemudian, dikeluarkanlah Surat Perintah Sebelas Maret
yang ditkaliantangani oleh Soekarno. Isi dari surat tersebut merupakan
perintah kepada Letnan Jenderal Soeharto
untuk mengambil tindakan yang perlu guna menjaga keamanan
pemerintahan dan keselamatan pribadi presiden. Surat tersebut
lalu digunakan oleh Soeharto
yang telah diangkat menjadi Panglima Angkatan Darat untuk membubarkan PKI dan
menyatakannya sebagai organisasi terlarang.
Kemudian MPRS pun mengeluarkan dua Ketetapannya, yaitu TAP No. IX/1966
tentang pengukuhan Supersemar
menjadi TAP MPRS dan TAP No.
Supersemar untuk setiap saat menjadi
presiden apabila presiden
berhalangan.
Soekarno
kemudian membawakan pidato pertanggungjawaban mengenai sikapnya terhadap peristiwa
G30S pada Sidang Umum ke-IV MPRS. Pidato tersebut berjudul "Nawaksara" dan dibacakan pada 22 Juni 1966.[6] MPRS kemudian
meminta Soekarno untuk melengkapi pidato tersebut. Pidato "Pelengkap
Nawaskara" pun disampaikan oleh Soekarno pada 10
Januari 1967 namun kemudian ditolak oleh MPRS pada 16 Februari
tahun yang sama.
Hingga
akhirnya pada 20
Februari 1967 Soekarno menkaliantangani Surat Pernyataan Penyerahan Kekuasaan di Istana Merdeka. Dengan ditkaliantanganinya surat tersebut
maka Soeharto de facto menjadi kepala pemerintahan
Indonesia.[30] Setelah melakukan Sidang
Istimewa maka MPRS pun mencabut kekuasaan
Presiden Soekarno, mencabut
gelar Pemimpin Besar Revolusi
dan mengangkat Soeharto sebagai Presiden RI hingga diselenggarakan pemilihan umum berikutnya.
Makam Presiden Soekarno di Blitar, Jawa
Timur
Kesehatan
Soekarno sudah mulai menurun sejak bulan Agustus 1965. Sebelumnya, ia telah dinyatakan mengidap gangguan ginjal dan pernah menjalani perawatan di Wina, Austria tahun 1961 dan
1964. Prof. Dr. K. Fellinger dari Fakultas Kedokteran Universitas Wina menyarankan agar ginjal
kiri Soekarno diangkat, tetapi ia menolaknya dan lebih memilih
pengobatan tradisional. Ia bertahan
selama 5 tahun sebelum akhirnya meninggal pada hari Minggu, 21
Juni 1970 di
Rumah Sakit Pusat Angkatan Darat (RSPAD) Gatot Subroto, Jakarta dengan status sebagai tahanan
politik. Jenazah Soekarno pun dipindahkan dari
RSPAD ke Wisma Yasso yang dimiliki oleh Ratna Sari Dewi. Sebelum dinyatakan wafat, pemeriksaan rutin terhadap
Soekarno sempat dilakukan oleh Dokter Mahar Mardjono yang merupakan
anggota tim dokter kepresidenan. Tidak lama kemudian
dikeluarkanlah komunike medis yang ditkaliantangani oleh Ketua ProfKertopati.
Komunike medis tersebut menyatakan hal sebagai berikut:
1.
Pada hari Sabtu tanggal
20 Juni 1970
jam 20.30 keadaan kesehatan
Soekarno semakin memburuk
dan kesadaran berangsur-angsur menurun.
2.
Tanggal 21
Juni 1970 jam 03.50 pagi, Soekarno dalam
keadaan tidak sadar dan kemudian pada jam
07.00 Ir. Soekarno meninggal dunia.
3.
Tim dokter secara
terus-menerus berusaha mengatasi keadaan kritis Soekarno hingga saat
meninggalnya.
Walaupun
Soekarno pernah meminta agar dirinya dimakamkan di Istana Batu Tulis, Bogor,
namun pemerintahan Presiden Soeharto
memilih Kota Blitar, Jawa Timur, sebagai tempat pemakaman
Soekarno. Hal tersebut ditetapkan lewat Keppres
RI No. 44 tahun 1970. Jenazah Soekarno dibawa ke Blitar sehari setelah kematiannya dan dimakamkan keesokan
harinya bersebelahan dengan makam ibunya.
Upacara pemakaman Soekarno dipimpin oleh Panglima ABRI Jenderal M. Panggabean sebagai inspektur upacara.
Pemerintah kemudian menetapkan masa berkabung selama tujuh hari.
2.
Drs. Moh. Hatta
Mohammad
Hatta lahir dari pasangan Muhammad Djamil dan Siti Saleha yang berasal dari Minangkabau.
Ayahnya merupakan seorang keturunan ulama tarekat di Batuhampar, dekat Payakumbuh, Sumatra Barat
dan
ibunya berasal dari keluarga
pedagang di Bukittinggi.
Ia lahir dengan nama Muhammad Athar pada tanggal 12
Agustus 1902. Namanya, Athar
berasal dari bahasa
Arab, yang berarti "harum".Athar lahir sebagai anak kedua, setelah Rafiah
yang lahir pada tahun 1900. Sejak kecil, ia telah dididik
dan dibesarkan dalam
lingkungan keluarga yang taat
melaksanakan ajaran agama Islam. Kakeknya dari pihak ayah, Abdurrahman Batuhampar dikenal
sebagai ulama pendiri Surau Batuhampar, sedikit dari surau yang
bertahan pasca-Perang Padri. Sementara
itu, ibunya berasal dari keturunan pedagang. Beberapa
orang mamaknya adalah
pengusaha besar di Jakarta.
Ayahnya meninggal
pada saat ia masih berumur
tujuh bulan. Setelah
kematian ayahnya, ibunya menikah dengan
Agus Haji Ning,
seorang pedagang dari Palembang. Haji
Ning sering berhubungan dagang dengan Ilyas Bagindo Marah, kakeknya dari pihak ibu. Perkawinan Siti
Saleha dengan Haji Ning melahirkan empat orang anak, yang semuanya adalah
perempuan.
Hatta dikenal
akan komitmennya pada demokrasi. Ia
mengeluarkan Maklumat X yang menjadi
tonggak awal demokrasi Indonesia. Di bidang
ekonomi, pemikiran dan
sumbangsihnya terhadap perkembangan koperasi membuat ia dijuluki sebagai Bapak Koperasi.
Hatta
meninggal pada 1980 dan jenazahnya dimakamkan di Tanah Kusir, Jakarta. Pemerintah
Indonesia menetapkannya sebagai salah seorang Pahlawan Nasional Indonesia pada
tanggal 23 Oktober
1986 melalui Keppres
nomor 081/TK/1986. Namanya
bersanding dengan Soekarno sebagai Dwi-Tunggal dan disematkan pada Bkalianr Udara Soekarno-Hatta. Di
Belkalian, namanya diabadikan sebagai nama jalan
di kawasan perumahan Zuiderpolder, Haarlem.
Mohammad
Hatta pertama kali mengenyam pendidikan formal di sekolah swasta.Setelah enam bulan, ia pindah ke sekolah rakyat dan sekelas
dengan Rafiah, kakaknya.
Namun, pelajarannya berhenti
pada pertengahan semester
kelas tiga. Ia lalu pindah ke ELS di Padang (kini SMA Negeri 1 Padang)
sampai tahun 1913,dan melanjutkan ke MULO sampai tahun 1917. Di
luar pendidikan formal, ia pernah belajar
agama kepada Muhammad Jamil Jambek, Abdullah Ahmad, dan beberapa
ulama lainnya.[11] Selain keluarga,
perdagangan memengaruhi
perhatian Hatta terhadap perekonomian. Di Padang, ia mengenal pedagang-pedagang yang masuk anggota Serikat Oesaha
dan aktif dalam Jong Sumatranen Bond sebagai bendahara.Kegiatannya ini tetap dilanjutkannya ketika ia bersekolah di Prins Hendrik
School. Mohammad Hatta tetap menjadi
bendahara di Jakarta.
Kakeknya
bermaksud akan ke Mekkah,
dan pada kesempatan tersebut, ia dapat membawa Mohammad
Hatta melanjutkan pelajaran
di bidang agama, yakni ke Mesir (Al-Azhar). Ini dilakukan untuk meningkatkan kualitas
surau di
Batuhmpar yang memang sudah
menurun sejak meninggalnya Abdurrahman. Namun, hal ini diprotes
dan mengusulkan pamannya,
Idris untuk menggantikannya.Menurut catatan Amrin
Imran, Pak Gaeknya kecewa dan Syekh Arsyad pada akhirnya menyerahkan kepada Tuhan.
Pada
18 November 1945, Hatta menikah dengan Rahmi Hatta dan tiga hari setelah
menikah, mereka bertempat
tinggal di Yogyakarta. Kemudian, dikarunai 3 anak
perempuan yang bernama Meutia
Farida Hatta, Gemala Rabi'ah Hatta, dan Halida Nuriah
Hatta.
Pergerakan
politik
ia mulai sewaktu bersekolah di Belkalian
dari 1921- 1932. Ia bersekolah di Handels Hogeschool (kelak sekolah ini disebut
Economische Hogeschool, sekarang menjadi
Universitas Erasmus Rotterdam), selama bersekolah di sana, ia masuk organisasi sosial Indische Vereeniging yang
kemudian menjadi organisasi politik dengan adanya pengaruh Ki Hadjar Dewantara, Cipto Mangunkusumo, dan Douwes
Dekker. Pada tahun 1923,
Hatta menjadi
bendahara dan mengasuh majalah Hindia
Putera yang berganti nama menjadi
Indonesia Merdeka. Pada tahun 1924,
organisasi ini berubah nama menjadi Indische Vereeniging (Perhimpunan Indonesia; PI).
Pada
tahun 1926,
ia menjadi pimpinan Perhimpunan Indonesia. Sebagai akibatnya, ia terlambat
menyelesaikan studi.Di bawah kepemimpinannya, PI mendapatkan perubahan. Perhimpunan ini lebih banyak memperhatikan perkembangan pergerakan di Indonesia
dengan memberikan banyak komentar, dan banyak ulasan di media massa di Indonesia. Setahun kemudian, ia seharusnya sudah berhenti dari jabatan ketua, namun ia dipilih kembali
hingga tahun 1930. Pada Desember
1926, Semaun
dari PKI
datang kepada Hatta untuk menawarkan pimpinan
pergerakan nasional secara umum kepada PI, selain itu dia dan Semaun membuat
suatu perjanjian bernama
"Konvensi Semaun-Hatta". Inilah yang dijadikan alasan Pemerintah Belkalian
ingin menangkap Hatta. Waktu itu, Hatta belum meyetujui
paham komunis. Stalin membatalkan keinginan Semaun,
sehingga hubungan Hatta dengan komunisme mulai memburuk. Sikap Hatta ini ditentang oleh anggota PI yang sudah
dikuasai komunis.
Pada tahun 1927, ia
mengikuti sidang "Liga Menentang Imperialisme, Penindasan Kolonial dan untuk Kemerdekaan Nasional" di Frankfurt.
Dalam sidang ini, pihak komunis dan
utusan dari Rusia
tampak ingin menguasai sidang ini,
sehingga Hatta tidak bisa percaya terhadap komunis. Pada waktu itu,
majalah PI, Indonesia Merdeka masuk dengan mudah ke Indonesia
lewat penyelundupan, karena banyak penggeledahan oleh pihak kepolisian
terhadap kaum pergerakan yang dicurigai.
Pada
25 September 1927, Hatta bersama Ali Sastroamidjojo, Nazir Datuk Pamuntjak, dan
Madjid Djojohadiningrat ditangkap
oleh penguasa Belkalian atas tuduhan mengikuti partai
terlarang yang dikait-kaitkan dengan Semaun,
terlibat
pemberontakan di Indonesia yang dilakukan PKI dari tahun 1926-1927, dan
menghasut (opruiing) supaya
menentang Kerajaan Belkalian. Moh. Hatta sendiri dihukum tiga tahun penjara. Mereka semua dipenjara di Rotterdam.
Dia juga dituduh
akan melarikan diri, sehingga dia yang sedang memperkenalkan Indonesia ke kota-kota
di Eropa sengaja pulang lebih cepat begitu berita ini tersebar.
Semua
tuduhan tersebut, ia tolak dalam pidatonya
"Indonesia Merdeka" (Indonesie Vrij) pada sidang kedua
tanggal 22 Maret 1928. Pidato ini sampai ke Indonesia dengan cara penyelundupan. Ia juga dibela
3 orang pengacara
Belkalian yang salah satunya
berasal dari parlemen.
Yang dari parlemen, bernama J.E.W. Duys.
Tokoh ini memang bersimpati padanya. Setelah ditahan beberapa bulan, mereka berempat dibebaskan dari tuduhan, karena tuduhan tidak bisa dibuktikan.
Sampai
pada tahun 1931,
Mohammad Hatta mundur dari kedudukannya sebagai
ketua karena hendak mengikuti ujian
sarjana, sehingga ia berhenti dari PI; namun demikian ia akan tetap membantu PI. Akibatnya, PI jatuh ke tangan komunis, dan mendapat arahan dari partai komunis Belkalian
dan juga dari Moskow. Setelah tahun 1931, PI
mengecam keras kebijakan
Hatta dan mengeluarkannya dari organisasi ini. PI di Belkalian mengecam sikap Hatta sebab ia bersama
Soedjadi mengkritik secara terbuka terhadap
PI. Perhimpunan menahan
sikap terhadap kedua orang ini.
Pada Desember
1931, para pengikut
Hatta segera membuat
gerakan tandingan yang disebut
Gerakan Merdeka yang kemudian bernama Pendidikan Nasional Indonesia yang kelak disebut
PNI Baru. Ini mendorong Hatta dan Syahrir yang pada saat itu sedang bersekolah di
Belkalian untuk mengambil langkah konkret
untuk mempersiapkan kepemimpinan di sana. Hatta sendiri merasa
perlu untuk menyelesaikan studinya terlebih dahulu.
Oleh karenanya, Syahrir
terpaksa pulang
dan untuk memimpin PNI. Kalau Hatta kembali pada 1932,
diharapkan Syahrir dapat melanjutkan studinya.
Sekembalinya ia dari Belkalian, ia
ditawarkan masuk kalangan
Sosialis Merdeka (Onafhankelijke Socialistische Partij, OSP) untuk menjadi anggota
parlemen Belkalian, dan menjadi perdebatan hangat di Indonesia pada saat
itu. Pihak OSP mengiriminya telegram pada 6 Desember
1932, yang berisi kesediaannya menerima
pencalonan anggota Parlemen. Ini dikarenakan ia berpendapat bahwa ia tidak setuju orang Indonesia menjadi
anggota dalam parlemen
Belkalian. Sebenarnya dia menolak
masuk, dengan alasan ia perlu berada dan berjuang di Indonesia. Namun,
pemberitaan di Indonesia mengatakan bahwa
Hatta menerima kedudukan tersebut, sehingga Soekarno
menuduhnya tidak konsisten
dalam menjalankan sistem non-kooperatif.
Setelah
Hatta kembali dari Belkalian, Syahrir tidak bisa ke Belkalian karena keduanya keburu ditangkap Belkalian pada 25
Februari 1934
dan dibuang ke Digul,
dan selanjutnya ke Bkalian
Neira. Baik di Digul
maupun Bkalian
Neira, ia
banyak menulis di koran-koran
Jakarta, dan ada juga untuk majalah-majalah
di Medan.
Artikelnya tidak terlalu politis, namun bersifat lebih menganalisis dan mendidik
pembaca. Ia juga banyak membahas
pertarungan kekuasaan di Pasifik.
Semasa
diasingkan ke Digul,
ia membawa semua buku-bukunya ke tempat pengasingannya. Di sana, ia mengatur
waktunya sehari-hari. Pada saat hendak membaca,
ia tak mau diganggu. Sehingga, beberapa kawannya menganggap dia sombong. Ia juga merupakan sosok yang
peduli terhadap tahanan. Ia menolak bekerja
sama dengan penguasa setempat, misalnya
memberantas malaria. Apabila ia mau bekerja sama, ia diberi gaji f
7.50 sebulan. Namun, kalau tidak, ia hanya diberi
gaji f 2.50 saja. Gajinya
itu tidak ia habiskan sendiri.
Ia juga peduli terhadap kawannya
yang kekurangan.
Di Digul, selain bercocok tanam, ia
juga membuat kursus kepada para tahanan.
Di antara tahanan tersebut, ada beberapa orang yang ibadah shalat dan puasanya
teratur; baik dari Minangkabau maupun Banten. Tapi, mereka ditangkap
karena -pada umumnya- terlibat pemberontakan komunis. Pada masa itu, ia menulis surat untuk iparnya untuk
dikirimi alat-alat pertukangan seperti paku
dan gergaji. Selain itu, dia juga menceritakan nasib orang-orang buangan dalam surat itu. Kemudian, ipar Hatta mengirim
surat itu ke koran Pemkalianngan di Jakarta dan segera surat itu
dimuat. Surat itu dibaca menteri jajahan pada saat itu, Colijn. Colijn mengecam pemerintah dan segera mengirim residen
Ambon untuk menemui Hatta di Digul. Maka uang diberikan untuknya, Hatta menolak dan ia
juga meminta supaya kalau mau ditambah, diberikan juga kepada pemimpin lain yang
hidup dalam pembuangan.
Pada
1937, ia menerima telegram
yang mengatakan dia dipindah dari Digul ke Bkalian
Neira. Hatta pindah bersama Syahrir pada
bulan Februari pada tahun itu, dan
mereka menyewa sebuah rumah yang cukup besar. Di situ, ada beberapa kamar dan ruangan yang cukup besar. Adapun
ruangan besar itu digunakannya untuk menyimpan bukunya dan tempat bekerjanya.
Sewaktu
di Bkalian
Neira, ia bercocok tanam dan menulis di koran
"Sin Tit Po" (dipimpin Liem Koen Hian; bulanan
ini berhenti pada 1938) dengan honorarium f 75 dalam Bahasa Belkalian. Kemudian, ia menulis di Nationale
Commantaren (Komentar Nasional; dipimpin Sam
Ratulangi) dan juga, ia menulis di koran Pemkalianngan dengan honorarium f 50 sebulan per satu/dua tulisan. Hatta juga pernah menerima tawaran Kiai
Haji Mas Mansur untuk ke Makassar, dia menolak dengan alasan kalaupun
dirinya ke Makassara dia masih berstatus tahanan juga. Waktu itu, sudah ada Cipto Mangunkusumo dan
Iwa Kusumasumantri. Mereka semua sudah saling mengenal.
Selain
itu, di Bkalian Neira, Hatta juga mengajar kepada beberapa orang pemuda.
Anak dr. Cipto belajar tata-buku
dan sejarah. Ada juga anak asli daerah Bkalian Neira yang belajar
kepada Hatta. Ada seorang kenalan
Hatta dari Sumatra Barat
yang mengirimkan dua orang kemenakannya untuk belajar ekonomi
dan juga sejarah. Selain itu, dari Bukittinggi dikirim Anwar Sutan Saidi
sebanyak empat orang pemuda yang belajar kepada Hatta.
Pada tahun 1941, Mohammad Hatta menulis
artikel di koran
Pemkalianngan yang isinya supaya rakyat Indonesia
jangan memihak kepada baik ke pihak Barat ataupun fasisme Jepang. Kelak, pada zaman
Jepang tulisan Hatta dijadikan bahan oleh
penguasa Jepang untuk tidak percaya Hatta selama Perang Pasifik. Yang mana, kelak tulisan Hatta dibaca Murase,
seorang Wakil Kepala Kempeitai (dinas intelijen)
dan menyarankan Hatta agar mengikuti Nippon
Seishin di Tokyo
pada November 1943.
Pada
tanggal 8 Desember 1941, angkatan perang Jepang menyerang Pearl Harbor, Hawaii. Ini
memicu Perang Pasifik, dan setelah Pearl Harbor, Jepang segera
menguasai sejumlah daerah, termasuk Indonesia. Dalam
keadaan genting tersebut,
Pemerintah Belkalian memerintahkan untuk memindahkan orang-orang buangan dari Digul ke Australia, karena khawatir
kerjasama dengan Jepang.
Hatta dan Syahrir
dipindahkan pada Februari 1942, ke Sukabumi setelah menginap sehari di Surabaya
dan naik kereta
api ke Jakarta. Bersama kedua
orang ini, turut pula 3 orang anak-anak dari Bkalian yang dijadikan
anak angkat oleh Syahrir.
Setelah itu, ia dibawa
kembali ke Jakarta. Ia bertemu
Mayor Jenderal Harada.
Hatta menanyakan keinginan Jepang datang ke Indonesia.
Harada menawarkan kerjasama dengan Hatta. Kalau mau, ia akan diberi jabatan
penting. Hatta menolak, dan memilih menjadi penasihat. Ia dijadikan penasihat dan diberi kantor di
Pegangsaan Timur dan rumah di Oranje
Boulevard (Jalan Diponegoro). Orang terkenal
pada masa sebelum perang, baik orang pergerakan, atau mereka yang bekerja sama dengan Belkalian, diikutsertakan seperti Abdul Karim Pringgodigdo, Surachman, Sujitno
Mangunkususmo, Sunarjo Kolopaking, Supomo,
dan Sumargo Djojohadikusumo. Pada masa ini, ia banyak mendapat
tenaga-tenaga baru. Pekerjaan
di sini, merupakan
tempat saran oleh pihak Jepang.
Jepang mengharapkan agar Hatta
memberikan nasihat yang menguntungkan mereka,
malah Hatta memanfaatkan itu untuk membela
kepentingan rakyat.
Saat-saat mendekati
Proklamasi pada 22 Juni 1945,
Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) membentuk panitia kecil yang disebut Panitia Sembilan dengan tugas
mengolah usul dan konsep para anggota mengenai
dasar negara Indonesia. Panitia kecil itu beranggotakan 9 orang dan diketuai
oleh Ir. Soekarno. Anggota lainnya Bung Hatta, Mohammad Yamin, Achmad Soebardjo, A.A. Maramis, Abdulkahar Muzakir, Wahid
Hasyim, H. Agus Salim, dan Abikusno Tjokrosujoso.
Kemudian pada 9 Agustus
1945, Bung Hatta bersama Bung Karno dan Radjiman Wedyodiningrat
diundang ke Dalat (Vietnam) untuk dilantik sebagai Ketua dan Wakil Ketua Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI).
Badan ini bertugas melanjutkan hasil kerja BPUPKI dan menyiapkan pemindahan kekuasaan dari pihak Jepang kepada Indonesia. Pelantikan dilakukan secara langsung
oleh Panglima Asia Tenggara Jenderal Terauchi. Puncaknya pada 16 Agustus
1945, terjadilah Peristiwa Rengasdengklok hari
dimana Bung Karno bersama Bung Hatta diculik
kemudian dibawa ke sebuah rumah milik salah seorang
pimpinan PETA, Djiaw Kie Siong, di sebuah kota kecil Rengasdengklok (dekat Karawang, Jawa Barat).
Penculikan itu dilakukan oleh kalangan pemuda,
dalam rangka mempercepat tanggal proklamasi kemerdekaan
Indonesia. Malam hari, mereka mengadakan rapat untuk persiapan
proklamasi Kemerdekaan Indonesia
di kediaman Laksamana Tadashi
Maeda di Jalan Imam Bonjol 1 Jakarta. Sebelum rapat, mereka menemui
somabuco (kepala pemerintahan umum) Mayjen Nishimura
untuk mengetahui sikapnya mengenai pelaksanaan proklamasi kemerdekaan
Indonesia. Pertemuan tersebut tidak menghasilkan kesepahaman sehingga
tidak adanya kesepahaman itu meyakinkan mereka berdua untuk melaksanakan proklamasi kemerdekaan itu tanpa kaitan
lagi dengan Jepang.
Pada 17 Agustus 1945, hari yang sangat ditunggu-tunggu oleh seluruh rakyat Indonesia dia bersama Soekarno
resmi memproklamasikan kemerdekaan di Jalan Pegangsaan Timur 56 Jakarta
pukul 10.00 WIB. Dan keesokan harinya pada
tanggal 18 Agustus 1945, dia resmi dipilih sebagai Wakil Presiden RI yang pertama
mendampingi Presiden Soekarno.
Selama menjadi
Wakil Presiden, Bung Hatta amat gigih bahkan dengan nada sangat marah, menyelamatkan Republik
dengan mempertahankan naskah Linggarjati di Sidang Pleno KNIP di Malang yang diselenggarakan pada 25 Februari – 6 Maret 1947 dan hasilnya
Persetujuan Linggajati diterima oleh Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP) sehingga
anggota KNIP menjadi
agak lunak pada 6 Maret
1947.
Pada saat terjadinya Agresi Militer Belkalian I pada 21 Juli 1947, Hatta dapat
meloloskan diri dari kepungan Belkalian dan pada saat itu dia masih
berada di Pematangsiantar. Dia dengan selamat
bersama dengan Gubernur Sumatra Mr. T. Hassan tiba di Bukittinggi. Sebelumnya pada 12 Juli 1947 Bung Hatta mengadakan Kongres Koperasi I di Tasikmalaya yang
menetapkan tanggal 12 Juli sebagai Hari Koperasi
di Indonesia. Kemudian dalam Kongres Koperasi II di Bandung
tanggal
12 Juli 1953, Bung Hatta diangkat sebagai
Bapak Koperasi Indonesia.
Kemudian, Bung Hatta dengan kewibawaannya sebagai
Wakil Presiden hendak memperjuangkan sampai berhasil Perjanjian Renville dengan
berakibat jatuhnya Kabinet Amir dan digantikan oleh Kabinet Hatta. Pada era Kabinet Hatta
yang dibentuk pada 29 Januari 1948, Bung Hatta menjadi Perdana Menteri
dan merangkap jabatan sebagai Menteri Pertahanan.
Suasana panas waktu timbul Pemberontakan PKI Madiun dalam bulan September 1948,
memuncak pada penyerbuan tentara Belkalian ke Yogyakarta pada 19 Desember 1948. Bung Hatta
bersama Bung Karno diangkut oleh tentara Belkalian
pada hari itu juga. Pada tahun yang sama, Bung Hatta bersama Bung Karno diasingkan ke Menumbing, Bangka. Beberapa
waktu setelah pengasingan karena
mengalami adanya sebuah perundingan Komisi Tiga Negara (KTN) di Kaliurang, di mana Critchley datang
mewakili Australia dan Cochran mewakili Amerika.
Pada Juli 1949, terjadi
kemenangan Cochran dalam menyelesaikan perundingan Indonesia. Tahun ini, terjadilah sebuah perundingan penting,
Konferensi Meja Bundar (KMB)
yang diadakan di Den
Haag sesudah berunding selama 3 bulan, pada 27 Desember 1949 kedaulatan NKRI kita miliki
untuk selamanya.
Ratu Juliana memberi tkalian pengakuan Belkalian atas kedaulatan negara Indonesia tanpa syarat kecuali
Irian Barat yang akan dirundingkan lagi dalam
waktu setahun setelah Pengakuan Kedaulatan kepada Bung Hatta yang bertindak
sebagai Ketua Delegasi
Republik Indonesia di Amsterdam dan di Jakarta.
Di Amsterdam dari Ratu Juliana kepada Drs. Mohammad Hatta dan di Jakarta
dari Dr. Lovink yang mewakili Belkalian kepada Sri Sultan Hamengku Buwono IX. Sehingga
pada akhirnya negara Indonesia menjadi negara Republik Indonesia Serikat
(RIS), Bung Hatta terpilih menjadi Perdana Menteri RIS juga merangkap sebagai Menteri Luar Negeri RIS
dan berkedudukan di Jakarta dan Bung Karno
menjadi Presiden RIS. Ternyata RIS tidak berlangsung lama, dan pada 17 Agustus
1950, Indonesia menjadi
Negara Kesatuan Republik
Indonesia (NKRI) dengan ibu kota Jakarta dan Perdana
Menteri Mohammad Natsir.[64] Bung Hatta menjadi Wakil Presiden RI lagi dan
berdinas di Jalan Medan Merdeka Selatan 13 Jakarta.
Pada tahun 1955, Mohammad Hatta membuat pernyataan bahwa bila parlemen dan konstituante pilihan rakyat sudah terbentuk, dia akan mengundurkan diri sebagai wakil presiden.
Menurutnya, dalam negara yang mempunyai
kabinet parlementer, Kepala Negara adalah sekadar
simbol saja, sehingga
Wakil Presiden tidak diperlukan lagi.
Pada
tanggal 20
Juli 1956, Mohammad Hatta
menulis sepucuk surat kepada Ketua
DPR pada saat itu, Sartono
yang isinya antara lain, "Merdeka,
Bersama ini saya beritahukan dengan
hormat, bahwa sekarang, setelah Dewan Perwakilan Rakyat yang dipilih
rakyat mulai bekerja,
dan Konstituante menurut
pilihan rakyat sudah tersusun,
sudah tiba waktunya bagi saya untuk mengundurkan diri sebagai wakil presiden.
Segera, setelah Konstituante dilantik, saya akan meletakkan jabatan
itu secara resmi."
DPR
menolak secara halus permintaan Mohammad Hatta tersebut, dengan cara mendiamkan surat tersebut. Kemudian,
pada tanggal 23
November 1956, Bung Hatta menulis surat susulan yang
isinya sama, bahwa tanggal 1
Desember 1956,
dia akan berhenti sebagai Wakil Presiden
RI. Akhirnya, pada sidang DPR pada 30 November 1956, DPR akhirnya menyetujui permintaan Mohammad Hatta
untuk mengundurkan diri dari jabatan
sebagai Wakil Presiden, jabatan yang telah dipegangnya selama 11 tahun.
Di akhir tahun 1956 juga, Hatta tidak sejalan lagi dengan Bung Karno karena dia tidak ingin memasukkan unsur komunis dalam kabinet pada waktu itu. Sebelum
ia mundur, dia mendapatkan gelar Doctor Honoris Causa dari Universitas Gajah Mada, Yogyakarta.
Sebenarnya gelar Doctor Honoris Causa ingin diberikan pada tahun 1951. Namun, gelar
tersebut baru diberikan
pada 27 November 1956.
Demikian pula Universitas Indonesia pada
tahun 1951 telah menyampaikan keinginan itu tetapi Bung Hatta belum
bersedia menerimanya. Kata dia, “Nanti saja kalau
saya telah berusia 60
tahun.”.
Sri Sultan
Hamengkubuwono IX yang
juga pernah menjabat sebagai Wakil Presiden RI tampak serius
berbicara dengan Mohammad
Hatta.
Setelah mundur dari jabatannya sebagai Wakil Presiden
RI pada 1 Desember
1956,
dia dan keluarga berpindah rumah dari Jalan Medan Merdeka Selatan
13 ke Jalan Diponegoro 57. Bung Hatta tak pernah menyesal atas keputusan
yang telah ia buat. Kegiatan sehari-hari Bung Hatta setelah pensiun adalah menambah dari penghasilan menulis
buku dan mengajar. Meskipun sudah tak menjabat lagi sebagai Wakil Presiden,
pada tahun 1957 dia berangkat ke Cina karena mendapat
undangan dari Pemerintah RRC. Rakyat sana masih menganggap dia sebagai “a great son of his
country”, terbukti dari penyambutan yang seharusnya diberikan kepada seorang
kepala negara di mana PM Zhou Enlai sendiri menyambut dia yang bukan lagi sebagai
wakil presiden.
Tahun 1963 Bung Hatta pertama kali mengalami jatuh sakit dan mendapatkan
perawatan di Stockholm,
Swedia
atas perintah Soekarno, dengan biaya negara, karena perlengkapan medis di sana lebih lengkap.
Pada 31 Januari 1970, melalui Keppres
No. 12/1970 telah dibentuk Komisi
Empat yang bertugas
mengusut masalah korupsi.
Untuk keperluan itu Dr. Moh. Hatta (mantan
Wakil Presiden RI) telah diangkat
menjadi Penasehat Presiden
dalam masalah pemberantasan Korupsi. Komisi Empat ini diketuai
oleh Wilopo, SH, dengan anggota-anggota: IJ Kasimo, Prof. Dr. Yohanes, H. Anwar Tjokroaminoto, dengan sekretaris Kepala
Bakin/Sekretaris Kopkamtib, Mayjen.
Sutopo Juwono. Dr. Moh. Hatta juga ditunjuk
sebagai Penasehat Komisi
Empat tersebut. Tetapi secara kontroversial, Presiden Suharto membubarkan komisi tersebut dan hanya memberikan izin untuk mengusut
tuntas 2 kasus korupsi saja. Hatta dipercaya
oleh Presiden Soeharto
untuk menjadi Anggota
Dewan Penasehat Presiden.
Pada 15 Agustus 1972, Bung Hatta mendapat
anugerah Bintang Republik
Indonesia Kelas I dari Pemerintah
Republik Indonesia. Kemudian, pada tahun yang sama Pemerintah Provinsi DKI Jakarta mengangkat dia sebagai warga utama Ibukota Jakarta dengan segala fasilitasnya, seperti perbaikan besarnya
pensiun dan penetapan
rumah dia menjadi
salah satu gedung yang bersejarah di Jakarta.
Kemudian,
pada tahun 1975, Bung Hatta menjadi anggota
Panitia Lima bersama
Prof Mr. Soebardjo, Prof Mr. Sunario,
A.A. Maramis, dan Prof Mr. Pringgodigdo untuk memberi pengertian mengenai Pancasila sesuai
dengan alam pikiran
dan semangat lahir dan batin para penyusun
UUD 1945 dengan Pancasilanya. Ternyata, Bung Hatta resmi menjadi Ketua Panitia
Lima. Tak hanya itu, Bung
Hatta kembali mendapatkan gelar doctor honouris
causa sebagai tokoh proklamator dari Universitas Indonesia
yang seharusnya diberikan pada tahun 1951. Pemberian
gelar tersebut dilakukan
di Jakarta pada 30 Juli 1975 dan
diberikan secara langsung
oleh Rektor Mahar Mardjono.
Pada
Tahun 1978 bersama dengan Jenderal Abdul Haris Nasution,
Bung Hatta mendirikan Yayasan Lembaga
Kesadaran Berkonstitusi yang bertujuan mengkritik penggunaan Pancasila dan UUD 1945 untuk kepentingan rezim otoriter Suharto.
Dan
pada tahun 1979,
dimana tahun tersebut merupakan tahun ke-5
Bung Hatta masuk ke rumah sakit.
Kesehatan Bung Hatta semakin menurun. Walaupun
begitu, semangatnya tetap saja tinggi. Ia masih mengikuti perkembangan
politik dunia.
Hatta
wafat pada tanggal 14
Maret 1980 pada pukul 18.56
di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo Jakarta setelah sebelas hari ia
dirawat di sana. Selama hidupnya,
Bung Hatta telah dirawat di rumah sakit sebanyak 6 kali pada tahun 1963, 1967, 1971,
1976, 1979, dan terakhir pada 3 Maret 1980. Keesokan
harinya, dia disemayamkan di kediamannya Jalan Diponegoro 57, Jakarta dan dikebumikan di TPU Tanah Kusir, Jakarta disambut
dengan upacara kenegaraan yang dipimpin secara
langsung oleh Wakil Presiden pada saat itu, Adam
Malik. Ia ditetapkan sebagai pahlawan proklamator pada tahun 1986 oleh pemerintahan Soeharto.
Setelah wafat, Pemerintah memberikan gelar Pahlawan Proklamator kepada Bung Hatta pada 23 Oktober 1986 bersama dengan mendiang Bung Karno. Pada 7
November 2012,
Bung Hatta secara resmi bersama dengan
Bung Karno ditetapkan oleh Presiden Susilo
Bambang Yudhoyono sebagai
Pahlawan Nasional.
3.
Achmad Soebardjo
Achmad Soebardjo
dilahirkan di Teluk Jambe, Karawang, Jawa Barat, tanggal 23 Maret 1896. Ayahnya bernama
Teuku Muhammad Yusuf,[1] masih keturunan bangsawan Aceh
dari Pidie.
Kakek Achmad Soebardjo dari pihak ayah adalah Ulee Balang
dan ulama di wilayah Lueng Putu,
sedangkan Teuku Yusuf adalah pegawai
pemerintahan dengan jabatan Mantri Polisi di wilayah
Teluk Jambe, Kerawang. Ibu Achmad
Soebardjo bernama Wardinah. Ia keturunan Jawa-
Bugis,[1] dan merupakan
anak dari Camat di Telukagung, Cirebon.
Ayahnya mulanya
memberinya nama Teuku Abdul Manaf, sedangkan
ibunya memberinya nama Achmad Soebardjo. Nama Djojoadisoerjo ditambahkannya sendiri setelah dewasa, saat ia ditahan di penjara
Ponorogo karena "Peristiwa 3 Juli 1946".
Ia bersekolah di Hogere Burger School, Jakarta (saat ini setara dengan
Sekolah Menengah Atas) pada tahun 1917. Ia
kemudian melanjutkan pendidikannya di Universitas Leiden, Belkalian dan memperoleh ijazah Meester in de Rechten (saat ini setara dengan Sarjana Hukum)
di bidang undang-undang pada tahun 1933.
Semasa masih menjadi mahasiswa, Soebardjo aktif dalam memperjuangkan kemerdekaan Indonesia melalui beberapa organisasi seperti
Jong Java dan
Persatuan Mahasiswa Indonesia di Belkalian. Pada bulan Februari 1927,
ia pun menjadi wakil Indonesia bersama
dengan Mohammad Hatta dan
para ahli gerakan-gerakan Indonesia pada persidangan antarbangsa "Liga Menentang
Imperialisme dan Penindasan Penjajah" yang pertama
di Brussels dan
kemudiannya di Jerman. Pada persidangan pertama itu juga ada Jawaharlal Nehru dan pemimpin-pemimpin nasionalis yang terkenal dari
Asia dan Afrika.[3] Sewaktu kembalinya ke Indonesia, ia aktif menjadi
anggota Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia
(BPUPKI), dan kemudian Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia
(PPKI)
Pada
tanggal 16 Agustus 1945 Para pemuda pejuang, termasuk Chaerul Saleh, Sukarni, dan
Wikana, Shudanco Singgih, dan
pemuda lain, membawa
Soekarno dan Moh. Hatta ke Rengasdengklok. Tujuannya adalah
agar Ir. Soekarno
dan Drs. Moh. Hatta tidak terpengaruh oleh Jepang. Peristiwa ini dinamakan Peristiwa Rengasdengklok.
Di sini, mereka kembali
meyakinkan Soekarno bahwa Jepang telah menyerah dan para pejuang telah siap untuk melawan
Jepang, apa pun risikonya.
Di
Jakarta, golongan muda, Wikana, dan golongan tua, yaitu Achmad Soebardjo melakukan
perundingan. Achmad Soebardjo
menyetujui untuk memproklamasikan kemerdekaan Indonesia di Jakarta.
Maka diutuslah Yusuf Kunto untuk mengantar Achmad Soebardjo ke Rengasdengklok. Achmad Soebardjo berhasil
meyakinkan para pemuda untuk tidak terburu-buru memproklamasikan kemerdekaan. Bahkan Achmad Soebardjo memberikan jaminan dengan taruhan
nyawa bahwa proklamasi kemerdekaan akan diumumkan
pada tanggal 17 Agustus 1945 selambat-lambatnya pukul 11.30. Dengan adanya jaminan itu, Komkaliann
Kompi Peta Rengasdengklok Cudanco Subeno bersedia melepaskan Soekarno dan Hatta kembali ke Jakarta.
Konsep naskah proklamasi disusun
oleh Bung Karno, Bung
Hatta, dan Achmad Soebardjo di rumah Laksamana Muda Maeda. Setelah selesai dan beragumentasi dengan para pemuda, dinihari
17 Agustus 1945, Bung Karno pun segera memerintahkan Sayuti Melik untuk mengetik
naskah proklamasi.
Pada
tanggal 18
Agustus 1945,
Soebardjo dilantik sebagai Menteri Luar Negeri pada Kabinet Presidensial, kabinet
Indonesia yang pertama, dan kembali menjabat
menjadi Menteri Luar Negeri sekali lagi pada tahun 1951
- 1952. Selain itu, ia juga menjadi Duta
Besar Republik Indonesia di Switzerland
antara tahun- tahun 1957
- 1961.
Dalam
bidang pendidikan,
Soebardjo merupakan profesor
dalam bidang Sejarah Perlembagaan dan Diplomasi Republik
Indonesia di Fakultas Kesusasteraan, Universitas Indonesia.
Achmad Soebardjo Djojoadisoerjo meninggal dunia
dalam usia 82 tahun (15 Desember
1978)
di Rumah Sakit Pertamina, Kebayoran Baru,
akibat flu yang menimbulkan
komplikasi. Ia dimakamkan di rumah peristirahatnya di Cipayung, Bogor. Pemerintah mengangkat almarhum sebagai
Pahlawan Nasional pada tahun 2009.
4.
Sutan Syahrir
Syahrir
lahir dari pasangan Mohammad Rasad gelar Maharaja Soetan bin Soetan Leman gelar Soetan Palindih dan
Puti Siti Rabiah yang berasal dari Koto Gadang, Agam, Sumatra Barat Ayahnya menjabat sebagai penasehat sultan
Deli dan
kepala jaksa (landraad) di Medan.
Syahrir bersaudara seayah dengan Rohana Kudus, aktivis serta wartawan wanita yang terkemuka.
Syahrir
mengenyam sekolah dasar (ELS)
dan sekolah menengah (MULO) terbaik di Medan. Hal ini mengantarkannya kepada berbagai buku-buku
asing dan ratusan novel Belkalian. Malamnya dia
mengamen di Hotel
De Boer (kini Hotel Natour Dharma Deli), hotel khusus untuk tamu-tamu Eropa.
Pada
1926, ia selesai dari MULO, masuk sekolah lanjutan atas (AMS)
di Bandung, sekolah termahal di Hindia Belkalian saat
itu. Di sekolah itu, dia bergabung dalam Himpunan Teater Mahasiswa Indonesia
(Batovis) sebagai sutradara, penulis skenario, dan juga
aktor. Hasil mentas itu dia gunakan untuk membiayai
sekolah yang ia dirikan, Tjahja
Volksuniversiteit, Cahaya Universitas Rakyat.
Di kalangan
siswa sekolah menengah
(AMS) Bandung, Syahrir
menjadi seorang bintang.
Syahrir bukanlah tipe siswa yang hanya menyibukkan diri dengan buku-buku
pelajaran dan pekerjaan rumah. Ia aktif dalam klub debat di sekolahnya. Syahrir juga berkecimpung dalam aksi pendidikan melek huruf secara
gratis bagi anak-anak dari keluarga tak mampu dalam
Tjahja Volksuniversiteit.
Aksi
sosial Syahrir kemudian menjurus jadi politis. Ketika para pemuda masih terikat dalam
perhimpunan-perhimpunan kedaerahan, pada tanggal 20 Februari 1927, Syahrir termasuk dalam sepuluh
orang penggagas pendirian
himpunan pemuda nasionalis, Jong Indonesië. Perhimpunan itu kemudian berubah
nama jadi Pemuda Indonesia yang menjadi motor penyelenggaraan Kongres Pemuda Indonesia. Kongres
monumental yang mencetuskan Sumpah Pemuda pada 1928.
Sebagai siswa sekolah menengah, Syahrir sudah
dikenal oleh polisi
Bandung sebagai pemimpin
redaksi majalah himpunan
pemuda nasionalis. Dalam kenangan
seorang temannya di AMS, Syahrir kerap lari digebah polisi karena membandel membaca koran yang memuat berita
pemberontakan PKI 1926; koran yang ditempel pada papan dan selalu
dijaga polisi agar tak dibaca para pelajar sekolah.
Syahrir
melanjutkan pendidikan ke negeri Belkalian
di Fakultas Hukum, Universitas Amsterdam. Di
sana, Syahrir mendalami sosialisme. Secara sungguh- sungguh ia berkutat dengan teori-teori sosialisme. Ia akrab
dengan Salomon Tas, Ketua Klub Mahasiswa Sosial
Demokrat, dan istrinya
Maria Duchateau, yang kelak dinikahi Syahrir, meski sebentar. (Kelak
Syahrir menikah kembali dengan Poppy, kakak tertua dari Soedjatmoko
dan Miriam Boediardjo).
Dalam
tulisan kenangannya, Salomon Tas berkisah perihal Syahrir yang mencari teman-teman radikal, berkelana
kian jauh ke kiri, hingga ke kalangan anarkis yang
mengharamkan segala hal berbau kapitalisme dengan bertahan hidup secara
kolektif – saling berbagi satu sama lain kecuali sikat gigi. Demi lebih mengenal
dunia proletar dan organisasi pergerakannya, Syahrir pun bekerja
pada Sekretariat Federasi Buruh Transportasi Internasional.
Selain menceburkan diri dalam sosialisme, Syahrir juga aktif dalam Perhimpunan Indonesia (PI)
yang ketika itu dipimpin oleh Mohammad Hatta. Di awal 1930, pemerintah Hindia Belkalian kian bengis terhadap
organisasi pergerakan nasional,
dengan aksi razia
dan memenjarakan pemimpin
pergerakan di tanah air, yang
berbuntut pembubaran Partai Nasional Indonesia
(PNI) oleh aktivis PNI sendiri. Berita tersebut menimbulkan kekhawatiran di kalangan
aktivis PI di Belkalian. Mereka selalu menyerukan agar pergerakan jangan
jadi melempem lantaran pemimpinnya
dipenjarakan. Seruan itu mereka sampaikan lewat
tulisan. Bersama Hatta, keduanya rajin menulis di Daulat Rakjat, majalah milik Pendidikan Nasional Indonesia,
dan memisikan pendidikan rakyat harus menjadi tugas utama
pemimpin politik.
"Pertama-tama, marilah
kita mendidik, yaitu memetakan jalan menuju kemerdekaan," katanya.”
Pengujung tahun
1931, Syahrir meninggalkan kampusnya untuk kembali
ke tanah air dan terjun dalam
pergerakan nasional. Syahrir segera bergabung dalam organisasi Partai Nasional Indonesia (PNI Baru), yang pada Juni 1932 diketuainya. Pengalaman mencemplungkan diri dalam dunia proletar ia
praktikkan di tanah air. Syahrir
terjun dalam pergerakan buruh. Ia memuat
banyak tulisannya tentang
perburuhan dalam Daulat Rakyat. Ia juga kerap berbicara perihal
pergerakan buruh dalam forum-forum politik.
Mei 1933, Syahrir didaulat menjadi
Ketua Kongres Kaum Buruh Indonesia.
Hatta
kemudian kembali ke tanah air pada Agustus 1932, segera pula ia memimpin PNI Baru. Bersama Hatta, Syahrir
mengemudikan PNI Baru sebagai organisasi
pencetak kader-kader pergerakan. Berdasarkan analisis pemerintahan kolonial Belkalian, gerakan politik
Hatta dan Syahrir dalam PNI Baru justru lebih
radikal tinimbang Soekarno
dengan PNI-nya yang mengkalianlkan mobilisasi massa. PNI Baru, menurut polisi kolonial, cukup sebanding dengan
organisasi Barat. Meski tanpa aksi massa dan agitasi; secara cerdas, lamban
namun pasti, PNI Baru mendidik
kader-kader pergerakan yang siap bergerak
ke arah tujuan revolusionernya.
Karena takut akan
potensi revolusioner PNI Baru, pada Februari 1934, pemerintah
kolonial Belkalian menangkap, memenjarakan, kemudian membuang Syahrir,
Hatta, dan beberapa
pemimpin PNI Baru ke Boven-Digoel. Hampir setahun dalam kawasan malaria di Papua itu, Hatta dan Syahrir
dipindahkan ke Bkalian Neira untuk menjalani masa pembuangan selama
enam tahun.
Sementara
Soekarno dan Hatta menjalin kerja sama dengan Jepang, Syahrir membangun jaringan gerakan bawah tanah
anti-fasis. Syahrir yakin Jepang tak mungkin memenangkan perang, oleh karena itu, kaum pergerakan mesti menyiapkan
diri untuk merebut kemerdekaan di saat yang tepat. Simpul-simpul jaringan gerakan bawah tanah kelompok
Syahrir adalah kader-kader PNI Baru yang tetap meneruskan pergerakan dan kader-kader muda yakni para mahasiswa progresif.
Sastra,
seorang tokoh senior pergerakan buruh yang akrab dengan Syahrir, menulis:
“ Di bawah kepemimpinan Syahrir,
kami bergerak di bawah tanah, menyusun
kekuatan subjektif, sambil menunggu perkembangan situasi objektif dan tibanya saat-saat
psikologis untuk merebut
kekuasaan dan kemerdekaan.”
Situasi objektif
itu pun makin terang ketika Jepang makin terdesak oleh pasukan Sekutu.
Syahrir mengetahui perkembangan Perang Dunia dengan cara sembunyi-sembunyi mendengarkan berita
dari stasiun radio luar negeri. Kala itu, semua radio
tak bisa menangkap
berita luar negeri
karena disegel oleh Jepang. Berita-berita tersebut kemudian ia sampaikan ke Hatta. Sembari itu, Syahrir menyiapkan
gerakan bawah tanah untuk merebut kekuasaan dari tangan Jepang. Syahrir
yang didukung para pemuda mendesak
Soekarno dan Hatta untuk memproklamasikan kemerdekaan pada 15 Agustus karena Jepang sudah menyerah, Syahrir siap dengan massa gerakan bawah tanah untuk melancarkan aksi perebutan kekuasaan
sebagai simbol dukungan rakyat. Soekarno dan Hatta
yang belum mengetahui berita menyerahnya Jepang, tidak merespon
secara positif. Mereka menunggu keterangan dari pihak Jepang
yang ada di Indonesia, dan proklamasi itu mesti sesuai prosedur lewat keputusan Panitia
Persiapan Kemerdekaan Indonesia
(PPKI) yang dibentuk
oleh Jepang. Sesuai rencana PPKI, kemerdekaan akan diproklamasikan pada 24 September
1945.
Sikap
Soekarno dan Hatta tersebut mengecewakan para pemuda, sebab sikap itu berisiko kemerdekaan RI dinilai
sebagai hadiah Jepang dan RI adalah buatan
Jepang. Guna mendesak lebih keras, para pemuda pun menculik Soekarno dan Hatta pada 16 Agustus. Akhirnya,
Soekarno dan Hatta memproklamasikan kemerdekaan RI pada 17 Agustus.
Revolusi menciptakan atmosfer amarah dan ketakutan, karena itu sulit untuk berpikir
jernih. Sehingga sedikit
sekali tokoh yang punya konsep dan langkah strategis meyakinkan guna
mengendalikan kecamuk revolusi. Saat itu, ada dua orang dengan pemikirannya yang populer kemudian
dianut banyak kalangan pejuang republik: Tan Malaka dan
Sutan Syahrir. Dua tokoh pergerakan kemerdekaan
yang dinilai steril dari noda kolaborasi dengan Pemerintahan Fasis Jepang, meski kemudian bertentangan jalan
dalam memperjuangan kedaulatan republik.
Pada masa genting itu, Bung Syahrir
menulis Perjuangan Kita. Sebuah risalah peta persoalan dalam revolusi Indonesia, sekaligus analisis ekonomi-
politik dunia usai Perang Dunia II. Perjungan
Kita muncul menyentak kesadaran. Risalah itu ibarat pedoman
dan peta guna mengemudikan kapal Republik Indonesia
di tengah badai revolusi.
Tulisan-tulisan Syahrir
dalam Perjuangan Kita, membuatnya tampak berseberangan dan menyerang Soekarno.
Jika Soekarno amat terobsesi pada persatuan dan kesatuan, Syahrir
justru menulis, "Tiap persatuan hanya akan bersifat taktis,
temporer, dan karena itu insidental. Usaha-usaha untuk menyatukan secara paksa, hanya
menghasilkan anak banci. Persatuan semacam itu akan terasa sakit,
tersesat, dan merusak pergerakan."Dan dia mengecam
Soekarno. "Nasionalisme yang Soekarno bangun di atas solidaritas hierarkis, feodalistis: sebenarnya adalah fasisme, musuh terbesar kemajuan dunia dan rakyat kita." Dia
juga mengejek gaya agitasi massa Soekarno yang menurutnya tak membawa kejernihan.
Perjuangan Kita adalah
karya terbesar Syahrir, kata Salomon Tas, bersama surat-surat politiknya semasa pembuangan di Boven Digul dan
Bkalianneira. Manuskrip itu disebut Indonesianis Ben
Anderson sebagai, "Satu-satunya usaha untuk menganalisis secara sistematis
kekuatan domestik dan internasional yang memperngaruhi Indonesia dan yang memberikan perspektif yang masuk
akal bagi gerakan
kemerdekaan pada masa
depan."
Terbukti kemudian,
pada November ’45 Syahrir didukung
pemuda dan ditunjuk Soekarno menjadi formatur
kabinet parlementer. Pada usia 36 tahun, mulailah
lakon Syahrir dalam panggung memperjuangkan kedaulatan Republik Indonesia, sebagai Perdana Menteri termuda
di dunia, merangkap Menteri Luar Negeri
dan Menteri Dalam Negeri.
Penculikan Perdana
Menteri Sjahrir merupakan
peristiwa yang terjadi
pada 26 Juni 1946 di Surakarta oleh kelompok
oposisi Persatuan Perjuangan yang tidak puas
atas diplomasi yang dilakukan oleh pemerintahan Kabinet Sjahrir II dengan pemerintah Belkalian karena sangat merugikan perjuangan Bangsa Indonesia saat itu.
Kelompok ini menginginkan pengakuan kedaulatan penuh (Merdeka 100%) yang dicetuskan oleh Tan Malaka. Sedangkan kabinet yang berkuasa
hanya menuntut pengakuan
kedaulatan atas Jawa dan Madura.
Kelompok Persatuan
Perjuangan ini dipimpin
oleh Mayor Jendral
Soedarsono dan 14 pimpinan sipil, di antaranya
Tan Malaka dari
Persatuan Perjuangan bersama
dengan Panglima besar Jendral sudirman. Perdana Menteri Sjahrir ditahan di suatu rumah peristirahatan di Paras.
Presiden Soekarno sangat marah atas aksi penculikan ini dan memerintahkan Polisi Surakarta menangkap
para pimpinan kelompok tersebut. Tanggal 1 Juli 1946, ke-14 pimpinan berhasil
ditangkap dan dijebloskan ke penjara Wirogunan.
Tanggal 2 Juli 1946, tentara Divisi 3 yang dipimpin
Mayor Jendral Soedarsono
menyerbu penjara Wirogunan dan membebaskan ke 14 pimpinan penculikan.
Presiden Soekarno
marah mendengar penyerbuan penjara dan memerintahkan Letnan Kolonel Soeharto, pimpinan tentara di Surakarta,
untuk menangkap Mayjen Soedarsono dan pimpinan penculikan. Lt. Kol. Soeharto
menolak perintah ini karena dia tidak mau menangkap pimpinan/atasannya sendiri. Dia hanya mau menangkap
para pemberontak kalau ada perintah
langsung dari Kepala
Staf militer RI, Jendral Soedirman. Presiden Soekarno sangat
marah atas penolakan ini dan menjuluki Lt. Kol. Soeharto sebagai perwira
keras kepala (koppig). Lt. Kol. Soeharto berpura-pura bersimpati pada pemberontakan dan menawarkan perlindungan pada Mayjen Soedarsono dan ke 14 orang pimpinan
di markas resimen tentara di
Wiyoro. Malam harinya Lt. Kol. Soeharto membujuk Mayjen Soedarsono dan para pimpinan pemberontak untuk menghadap
Presiden RI di Istana Presiden
di Jogyakarta. Secara rahasia, Lt. Kol. Soeharto
juga menghubungi pasukan
pengawal Presiden dan memberitahukan rencana
kedatangan Mayjen Soedarsono dan pimpinan pemberontak.
Tanggal 3 Juli 1946, Mayjen Soedarsono dan pimpinan pemberontak berhasil dilucuti senjatanya dan ditangkap di dekat Istana
Presiden di Yogyakarta oleh pasukan
pengawal presiden. Peristiwa
ini lalu dikenal
sebagai pemberontakan 3 Juli 1946
yang gagal.
Setelah
kejadian penculikan Syahrir hanya bertugas sebagai Menteri Luar Negeri, tugas sebagai Perdana Menteri
diambil alih Presiden Soekarno. Namun pada tanggal
2 Oktober 1946, Presiden menunjuk kembali Syahrir
sebagai Perdana Menteri agar
dapat melanjutkan Perundingan Linggarjati yang
akhirnya ditkaliantangani pada 15
November 1946.
Tanpa Syahrir,
Soekarno bisa terbakar
dalam lautan api yang telah ia nyalakan.
Sebaliknya, sulit dibantah
bahwa tanpa Bung Karno, Syahrir
tidak berdaya apa-apa.
Syahrir mengakui
Soekarno-lah pemimpin republik
yang diakui rakyat.
Soekarno-lah pemersatu bangsa Indonesia. Karena agitasinya yang menggelora, rakyat di bekas teritori Hindia Belkalian mendukung
revolusi. Kendati demikian,
kekuatan raksasa yang sudah dihidupkan Soekarno harus dibendung
untuk kemudian diarahkan
secara benar, agar energi itu tak meluap
dan justru merusak.
Sebagaimana argumen Bung Hatta bahwa revolusi mesti dikendalikan; tak mungkin revolusi
berjalan terlalu lama, revolusi yang mengguncang ‘sendi’
dan ‘pasak’ masyarakat jika tak dikendalikan maka akan meruntuhkan seluruh ‘bangunan’. Agar Republik
Indonesia tak runtuh dan perjuangan rakyat tak menampilkan wajah bengis, Syahrir menjalankan siasatnya. Di pemerintahan, sebagai
ketua Badan Pekerja
Komite Nasional Indonesia
Pusat (BP KNIP), ia menjadi arsitek perubahan Kabinet Presidensil menjadi Kabinet Parlementer yang bertanggung jawab kepada KNIP sebagai lembaga
yang mempunyai fungsi legislatif.
RI pun menganut sistem multipartai. Tatanan pemerintahan tersebut sesuai dengan arus politik pasca-Perang
Dunia II, yakni kemenangan demokrasi atas fasisme.
Kepada massa rakyat,
Syahrir selalu menyerukan nilai-nilai kemanusiaan dan anti-kekerasan.
Dengan siasat-siasat tadi, Syahrir menunjukkan kepada dunia internasional bahwa revolusi Republik Indonesia adalah
perjuangan suatu bangsa yang beradab
dan demokratis di tengah suasana kebangkitan bangsa-bangsa melepaskan
diri dari cengkeraman kolonialisme pasca-Perang Dunia II. Pihak Belkalian kerap melakukan propagkalian bahwa orang-orang di Indonesia merupakan
gerombolan yang brutal, suka membunuh, merampok, menculik, dll. Karena
itu sah bagi Belkalian, melalui NICA,
menegakkan tertib sosial sebagaimana kondisi
Hindia Belkalian sebelum Perang Dunia II. Mematahkan propagkalian itu,
Syahrir menginisiasi penyelenggaraan pameran kesenian yang kemudian diliput
dan dipublikasikan oleh para wartawan luar negeri.
Di
pengujung Desember 1946, Perdana Menteri Syahrir dicegat dan ditodong pistol oleh serdadu NICA. Saat
serdadu itu menarik pelatuk, pistolnya macet. Karena geram, dipukullah Syahrir dengan gagang pistol. Berita itu kemudian
tersebar lewat Radio Republik Indonesia. Mendengar itu, Syahrir
dengan mata sembab membiru memberi
peringatan keras agar siaran itu dihentikan,
sebab bisa berdampak fatal dibunuhnya orang-orang Belkalian di kamp-kamp
tawanan oleh para pejuang republik,
ketika tahu pemimpinnya dipukuli.
Meski
jatuh-bangun akibat berbagai tentangan di kalangan bangsa sendiri, Kabinet Sjahrir I, Kabinet Sjahrir II sampai dengan
Kabinet Sjahrir III (1945 hingga
1947) konsisten memperjuangkan kedaulatan RI lewat jalur diplomasi.
Syahrir tak ingin konyol menghadapi tentara sekutu yang dari segi persenjataan jelas
jauh lebih canggih.
Diplomasinya kemudian berbuah kemenangan sementara. Inggris sebagai
komando tentara sekutu untuk wilayah
Asia Tenggara mendesak
Belkalian untuk duduk
berunding dengan pemerintah republik. Secara politik,
hal ini berarti secara de facto sekutu mengakui eksistensi pemerintah
RI. Jalan
berliku diplomasi diperkeruh dengan gempuran aksi militer Belkalian pada 21
Juli 1947. Aksi Belkalian
tersebut justru mengantarkan Indonesia ke forum
Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB).
Setelah tidak lagi menjabat Perdana Menteri (Kabinet Sjahrir III), Syahrir
diutus menjadi perwakilan Indonesia di PBB. Dengan
bantuan Biju
Patnaik, Syahrir bersama Agus
Salim berangkat ke Lake Success, New York melalui New Delhi dan Kairo untuk menggalang
dukungan India dan Mesir.
Pada
14
Agustus 1947 Syahrir berpidato
di muka sidang Dewan Keamanan PBB. Berhadapan dengan para wakil
bangsa-bangsa sedunia, Syahrir mengurai Indonesia
sebagai sebuah bangsa yang berabad-abad berperadaban aksara lantas dieksploitasi oleh kaum kolonial.
Kemudian, secara piawai Syahrir mematahkan satu per satu argumen
yang sudah disampaikan wakil Belkalian, Eelco van Kleffens. Dengan itu, Indonesia
berhasil merebut kedudukan
sebagai sebuah bangsa yang memperjuangan kedaulatannya di
gelanggang internasional. PBB pun
turut campur, sehingga Belkalian gagal mempertahankan upayanya untuk menjadikan pertikaian Indonesia-Belkalian
sebagai persoalan yang semata-mata urusan dalam negerinya.
Van Kleffens
dianggap gagal membawa
kepentingan Belkalian dalam
sidang Dewan Keamanan
PBB. Berbagai kalangan
Belkalian menilai kegagalan itu sebagai kekalahan
seorang diplomat ulung yang berpengalaman di gelanggang internasional dengan seorang diplomat
muda dari negeri
yang baru saja lahir. Van Kleffens pun ditarik dari posisi sebagai
wakil Belkalian di PBB menjadi
duta besar Belkalian di Turki.
Syahrir populer
di kalangan para wartawan yang meliput sidang
Dewan Keamanan PBB, terutama
wartawan-wartawan yang berada di Indonesia semasa revolusi. Beberapa surat kabar menamakan
Syahrir sebagai The Smiling
Diplomat. Syahrir mewakili
Indonesia di PBB selama 1 bulan, dalam 2 kali sidang.
Pimpinan delegasi
Indonesia selanjutnya diwakili
oleh Lambertus Nicodemus
Palar (L.N.) Palar sampai tahun 1950.
Selepas memimpin
kabinet, Sutan Syahrir
diangkat menjadi penasihat
Presiden Soekarno sekaligus Duta Besar Keliling.
Pada tahun 1948 Syahrir mendirikan Partai Sosialis Indonesia (PSI)
sebagai partai alternatif selain partai lain
yang tumbuh dari gerakan komunis internasional. Meskipun PSI berhaluan kiri dan
mendasarkan pada ajaran Marx-Engels, namun ia menentang sistem kenegaraan
Uni
Soviet. Menurutnya pengertian sosialisme
adalah menjunjung tinggi derajat
kemanusiaan, dengan mengakui
dan menjunjung persamaan
derajat tiap manusia.
Meskipun perawakannya kecil, yang oleh teman-temannya sering
dijuluki Si Kancil, Sutan Syahrir
adalah salah satu penggemar olahraga dirgantara, pernah menerbangkan pesawat kecil dari Jakarta
ke Yogyakarta pada kesempatan kunjungan ke Yogyakarta. Di samping itu
juga senang sekali dengan musik klasik. Ia juga bisa memainkan biola.
Tahun 1955 PSI gagal mengumpulkan suara dalam pemilihan umum pertama di Indonesia. Setelah kasus
PRRI tahun 1958[5], hubungan Sutan Syahrir dan Presiden Soekarno
memburuk sampai akhirnya PSI dibubarkan
tahun 1960. Tahun 1962 hingga 1965, Syahrir ditangkap
dan dipenjarakan tanpa diadili sampai menderita stroke. Setelah itu Syahrir diizinkan untuk berobat ke Zürich Swiss, salah seorang
kawan dekat yang pernah menjabat
wakil ketua PSI Sugondo Djojopuspito
mengantarkannya di Bkalianra Kemayoran dan Syahrir memeluk Sugondo dengan air mata.
Sjahrir akhirnya meninggal di Swiss pada tanggal 9 April 1966.
1.
Pikiran dan Perjuangan, tahun
1950 (kumpulan karangan
dari Majalah
”Daulat Rakyat”
dan majalah-majalah lain, tahun 1931 – 1940)
2.
Pergerakan Sekerja,
tahun 1933
3.
Perjuangan Kita, tahun 1945
4.
Indonesische Overpeinzingen, tahun 1946 (kumpulan
surat-surat dan karangan-karangan dari penjara Cipinang
dan tempat pembuangan di Digul dan Bkalian-Neira, dari tahun 1934 sampau 1938).
5.
Renungan Indonesia, tahun 1951 (diterjemahkan dari Bahasa Belkalian:
Indonesische Overpeinzingen oleh HB Yassin)
6.
Out of Exile, tahun 1949 (terjemahan dari ”Indonesische Overpeinzingen”
oleh Charles
Wolf Jr. dengan
dibubuhi bagian ke-2 karangan Sutan
Sjahrir)
7.
Renungan dan
Perjuangan, tahun
1990
(terjemahan HB
Yassin
dari
Indonesische Overpeinzingen dan Bagian
II Out of Exile)
8.
Sosialisme dan Marxisme, tahun
1967 (kumpulan karangan
dari majalah
“Suara Sosialis”
tahun 1952 – 1953)
9.
Nasionalisme dan Internasionalisme, tahun 1953 (pidato yang diucapkan
pada Asian Socialist
Conference di Rangoon, tahun 1953)
10.
Karangan–karangan dalam "Sikap", "Suara Sosialis" dan majalah–majalah lain
11.
Sosialisme Indonesia
Pembangunan, tahun 1983 (kumpulan tulisan Sutan Sjahrir diterbitkan oleh Leppenas)
5.
Moh. Yamin
Mohammad Yamin dilahirkan di Talawi, Sawahlunto pada 23 Agustus 1903.
Ia merupakan putra dari pasangan
Usman Baginda Khatib dan Siti Saadah yang masing-masing berasal dari Sawahlunto dan Padang Panjang. Ayahnya
memiliki enam belas anak dari lima istri, yang hampir keseluruhannya kelak menjadi intelektual yang berpengaruh.
Saudara-saudara Yamin antara lain: Muhammad Yaman,
seorang pendidik; Djamaluddin Adinegoro, seorang wartawan
terkemuka; dan Ramana Usman,
pelopor korps diplomatik Indonesia. Selain itu sepupunya, Mohammad Amir, juga merupakan tokoh pergerakan kemerdekaan Indonesia.
Yamin
mendapatkan pendidikan dasarnya di Hollandsch-Inlandsche
School (HIS) Palembang, kemudian melanjutkannya ke Algemeene Middelbare School (AMS) Yogyakarta. Di AMS Yogyakarta, ia
mulai mempelajari sejarah purbakala dan
berbagai bahasa seperti Yunani,
Latin, dan Kaei. Namun
setelah tamat, niat untuk melanjutkan pendidikan ke Leiden, Belkalian harus diurungnya dikarenakan ayahnya
meninggal dunia. Ia kemudian menjalani
kuliah di Rechtshoogeschool te Batavia (Sekolah Tinggi Hukum di Jakarta, yang kelak menjadi Fakultas Hukum Universitas Indonesia),
dan berhasil memperoleh gelar Meester in de Rechten (Sarjana Hukum)
pada tahun 1932.
Mohammad
Yamin memulai karier sebagai seorang penulis pada dekade 1920-an
semasa dunia sastra Indonesia mengalami perkembangan.
Karya-karya pertamanya ditulis
menggunakan bahasa Melayu dalam jurnal Jong Sumatra, sebuah jurnal berbahasa Belkalian pada tahun 1920.
Karya-karya terawalnya masih terikat
kepada bentuk-bentuk bahasa Melayu Klasik.
Pada tahun 1922, Yamin muncul untuk pertama kali sebagai penyair
dengan puisinya, Tanah Air; yang dimaksud tanah airnya
yaitu Minangkabau
di Sumatra. Tanah Air merupakan himpunan
puisi modern Melayu pertama yang pernah diterbitkan.
Himpunan
Yamin yang kedua, Tumpah Darahku,
muncul pada 28
Oktober 1928.
Karya ini sangat penting dari segi
sejarah, karena pada waktu itulah Yamin dan
beberapa orang pejuang
kebangsaan memutuskan untuk menghormati satu tanah air, satu bangsa,
dan satu bahasa Indonesia yang tunggal. Dramanya, Ken Arok dan Ken Dedes yang berdasarkan sejarah Jawa, muncul juga pada tahun
yang sama.
Dalam puisinya,
Yamin banyak menggunakan bentuk soneta yang dipinjamnya dari literatur Belkalian. Walaupun Yamin melakukan
banyak eksperimen bahasa
dalam puisi-puisinya, ia masih lebih menepati norma-norma klasik Bahasa Melayu, berbanding dengan
generasi-generasi penulis yang lebih muda.
Ia juga menerbitkan banyak drama,
esei, novel sejarah, dan puisi. Ia juga menterjemahkan karya-karya William Shakespeare (drama Julius Caesar)
dan Rabindranath Tagore.
Karier
politik Yamin dimulai ketika ia masih menjadi mahasiswa di Jakarta. Ketika itu ia bergabung dalam organisasi Jong Sumatranen Bond[3] dan
menyusun ikrah Sumpah Pemuda yang
dibacakan pada Kongres Pemuda II. Dalam ikrar tersebut,
ia menetapkan Bahasa Indonesia, yang berasal dari Bahasa Melayu, sebagai bahasa nasional Indonesia.
Melalui organisasi Indonesia Muda, Yamin mendesak
supaya Bahasa Indonesia dijadikan sebagai alat persatuan. Kemudian setelah
kemerdekaan, Bahasa Indonesia
menjadi bahasa resmi serta bahasa utama dalam kesusasteraan Indonesia.
Pada
tahun 1932,
Yamin memperoleh gelar sarjana hukum. Ia kemudian bekerja dalam bidang hukum di Jakarta hingga
tahun 1942. Pada tahun
yang sama, Yamin tercatat sebagai
anggota Partindo. Setelah
Partindo bubar, bersama
Adenan Kapau Gani dan
Amir Sjarifoeddin, ia
mendirikan Gerakan Rakyat Indonesia (Gerindo). Tahun 1939, ia terpilih sebagai anggota Volksraad.
Semasa pendudukan Jepang (1942-1945), Yamin bertugas pada Pusat Tenaga Rakyat (PUTERA), sebuah organisasi nasionalis yang disokong oleh pemerintah Jepang. Pada tahun 1945, ia terpilih sebagai
anggota Badan Penyelidik Usaha Persiapan
Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI). Dalam sidang BPUPKI,
Yamin banyak memainkan
peran. Ia berpendapat agar hak asasi
manusia dimasukkan ke dalam
konstitusi negara.[4] Ia juga mengusulkan agar
wilayah Indonesia pasca- kemerdekaan,
mencakup Sarawak,
Sabah, Semenanjung Malaya, Timor Portugis, serta
semua wilayah Hindia Belkalian. Soekarno yang juga
merupakan anggota BPUPKI menyokong
ide Yamin tersebut. Setelah kemerdekaan, Soekarno menjadi Presiden Republik Indonesia
yang pertama, dan Yamin dilantik untuk jabatan- jabatan yang penting dalam pemerintahannya.
Setelah
kemerdekaan, jabatan-jabatan yang pernah dipangku Yamin antara lain anggota DPR sejak tahun 1950, Menteri Kehakiman (1951), Menteri Pengajaran, Pendidikan, dan Kebudayaan (1953–1955), Ketua Dewan Perancangan Nasional; dibantu 3 Wakil Ketua, yaitu Ukar Bratakusumah, Soekardi & Sakirman
melalui UU No. 80 tahun 1958[5] (1958–1963), Menteri
Sosial dan Kebudayaan (1959–1960),
Ketua Dewan Pengawas IKBN Antara
(1961–1962) dan Menteri Penerangan (1962–1963).
Pada saat menjabat sebagai
Menteri Kehakiman, Yamin membebaskan tahanan politik yang
dipenjara tanpa proses pengadilan. Tanpa grasi dan remisi, ia
mengeluarkan 950 orang tahanan yang dicap komunis
atau sosialis. Atas kebijakannya itu, ia dikritik
oleh banyak anggota
DPR. Namun Yamin berani bertanggung jawab atas tindakannya tersebut. Kemudian
disaat menjabat Menteri
Pengajaran, Pendidikan, dan Kebudayaan, Yamin banyak mendorong pendirian univesitas-universitas negeri dan swasta di seluruh
Indonesia. Di antara perguruan
tinggi yang ia dirikan adalah Universitas Kalianlas di
Padang,
Sumatra Barat.
|
Pada tahun 1937, Mohammad Yamin menikah
dengan Siti Sundari, putri seorang
bangsawan dari Kadilangu,
Demak, Jawa
Tengah.Mereka dikaruniai satu orang putra, Dang Rahadian Sinayangsih Yamin.
6.
Ki Hadjar Dewantara
Suwardi
berasal dari lingkungan keluarga Kadipaten Pakualaman,
putra dari GPH Soerjaningrat, dan
cucu dari Pakualam
III. Ia menamatkan pendidikan dasar
di ELS
(Sekolah Dasar Eropa/Belkalian). Kemudian sempat melanjut ke STOVIA (Sekolah Dokter
Bumiputera), tetapi tidak sampai tamat karena sakit. Kemudian ia bekerja sebagai penulis dan wartawan
di beberapa surat
kabar, antara
lain, Sediotomo, Midden Java, De Expres, Oetoesan Hindia, Kaoem Moeda, Tjahaja Timoer, dan Poesara. Pada masanya,
ia tergolong penulis
hkalianl. Tulisan- tulisannya komunikatif dan tajam dengan semangat
antikolonial.
Selain
ulet sebagai seorang wartawan muda, ia juga aktif dalam organisasi sosial dan politik.
Sejak berdirinya Boedi Oetomo (BO) tahun 1908, ia aktif di seksi propagkalian untuk menyosialisasikan dan
menggugah kesadaran masyarakat Indonesia
(terutama Jawa) pada waktu itu mengenai pentingnya persatuan dan kesatuan dalam berbangsa dan bernegara.
Kongres pertama BO di Yogyakarta juga
diorganisasi olehnya.
Suwardi
muda juga menjadi anggota organisasi Insulinde, suatu organisasi multietnik yang didominasi kaum Indo yang
memperjuangkan pemerintahan sendiri di Hindia Belkalian, atas pengaruh
Ernest Douwes Dekker
(DD). Ketika kemudian DD mendirikan Indische Partij, Suwardi diajaknya pula.
Sewaktu
pemerintah Hindia Belkalian berniat mengumpulkan sumbangan dari warga, termasuk
pribumi, untuk perayaan
kemerdekaan Belkalian dari Prancis
pada tahun 1913, timbul reaksi kritis dari
kalangan nasionalis, termasuk Suwardi.
Ia kemudian menulis "Een voor Allen maar Ook Allen voor Een" atau "Satu untuk Semua, tetapi Semua untuk Satu Juga". Namun kolom KHD yang paling
terkenal adalah "Sekalianinya Aku Seorang Belkalian" (judul asli: "Als
ik een Nederlander was"),
dimuat dalam surat
kabar De Expres pimpinan
DD, 13
Juli 1913.
Isi artikel ini terasa pedas sekali di kalangan pejabat Hindia Belkalian. Kutipan
tulisan tersebut antara
lain sebagai berikut.
"Sekiranya aku
seorang Belkalian, aku tidak akan
menyelenggarakan pesta- pesta kemerdekaan di negeri yang telah kita rampas sendiri
kemerdekaannya. Sejajar
dengan jalan pikiran itu, bukan saja tidak adil, tetapi juga tidak pantas untuk menyuruh si inlander memberikan
sumbangan untuk dana perayaan itu. Ide untuk
menyelenggaraan perayaan itu saja sudah menghina mereka, dan sekarang kita keruk pula kantongnya. Ayo teruskan saja penghinaan lahir dan batin
itu! Kalau aku seorang Belkalian, hal yang terutama
menyinggung perasaanku dan kawan- kawan
sebangsaku ialah kenyataan bahwa inlander diharuskan ikut mengongkosi suatu kegiatan yang tidak
ada kepentingan sedikit pun baginya".
Beberapa pejabat
Belkalian menyangsikan tulisan
ini asli dibuat oleh Suwardi
sendiri karena gaya bahasanya
yang berbeda dari tulisan-tulisannya sebelum ini. Kalaupun benar ia yang
menulis, mereka menganggap DD berperan dalam memanas-manasi Suwardi untuk menulis dengan gaya demikian.
Akibat tulisan ini ia ditangkap
atas persetujuan Gubernur
Jenderal Idenburg dan akan diasingkan ke Pulau Bangka
(atas permintaan sendiri). Namun
demikian kedua rekannya, DD dan
Tjipto Mangoenkoesoemo,
memprotes dan akhirnya mereka bertiga diasingkan ke Belkalian
(1913). Ketiga tokoh ini dikenal sebagai "Tiga Serangkai". Suwardi kala itu baru berusia 24 tahun.
Dalam pengasingan di Belkalian, Suwardi aktif dalam organisasi para pelajar asal Indonesia, Indische Vereeniging (Perhimpunan Hindia).
Tahun 1913 dia mendirikan Indonesisch Pers-bureau, "kantor berita Indonesia". Ini adalah penggunaan formal pertama dari istilah
"Indonesia", yang diciptakan tahun 1850 oleh ahli bahasa asal Inggeris
George Windsor Earl dan
pakar hukum asal Skotlandia James Richardson Logan.
Di sinilah
ia kemudian merintis
cita-citanya memajukan kaum pribumi dengan belajar ilmu pendidikan hingga memperoleh Europeesche Akta,
suatu ijazah pendidikan yang
bergengsi yang kelak menjadi pijakan dalam mendirikan lembaga pendidikan yang didirikannya. Dalam
studinya ini Suwardi
terpikat pada ide-ide sejumlah tokoh pendidikan Barat,
seperti Froebel dan Montessori, serta pergerakan pendidikan India, Santiniketan, oleh
keluarga Tagore. Pengaruh- pengaruh inilah yang mendasarinya dalam mengembangkan sistem pendidikannya sendiri.
Suwardi, Ernest Douwes Dekker dan Cipto
Mangunkusumo (Tiga Serangkai)
tahun 1914 saat diasingkan
di Negeri Belkalian
Suwardi
Suryaningrat kembali ke Indonesia pada bulan September 1919. Segera kemudian ia bergabung dalam sekolah
binaan saudaranya. Pengalaman mengajar
ini kemudian digunakannya untuk mengembangkan konsep mengajar bagi sekolah yang ia dirikan pada tanggal 3 Juli 1922: Nationaal Onderwijs
Instituut Tamansiswa atau Perguruan Nasional Tamansiswa. Saat ia genap berusia
40 tahun menurut hitungan penanggalan Jawa, ia mengganti namanya
menjadi Ki Hadjar Dewantara. Ia tidak
lagi menggunakan gelar kebangsawanan di depan namanya. Hal ini dimaksudkan supaya ia dapat bebas dekat dengan rakyat,
baik secara fisik maupun jiwa.
Semboyan
dalam sistem pendidikan yang dipakainya kini sangat dikenal di kalangan
pendidikan Indonesia. Secara
utuh, semboyan itu dalam bahasa Jawa berbunyi ing ngarsa sung tuladha, ing madya mangun
karsa, tut wuri hkalianyani. ("di
depan memberi contoh, di tengah memberi semangat, di belakang memberi dorongan"). Semboyan ini masih tetap
dipakai dalam dunia pendidikan rakyat Indonesia, terlebih di sekolah-sekolah Perguruan Tamansiswa.
Dalam kabinet
pertama Republik Indonesia, KHD diangkat menjadi
Menteri Pengajaran Indonesia
(posnya disebut sebagai Menteri Pendidikan, Pengajaran dan Kebudayaan) yang pertama. Pada tahun 1957 ia mendapat
gelar doktor kehormatan (doctor
honoris causa, Dr.H.C.) dari
universitas tertua Indonesia, Universitas Gadjah Mada. Atas
jasa-jasanya dalam merintis pendidikan umum, ia dinyatakan sebagai Bapak Pendidikan Nasional Indonesia dan hari
kelahirannya dijadikan Hari
Pendidikan Nasional (Surat Keputusan Presiden RI no. 305 tahun 1959, tanggal 28 November 1959). Ia
meninggal dunia di Yogyakarta tanggal 26 April 1959 dan
dimakamkan di Taman Wijaya Brata.
KEGIATAN PEMBELAJARAN 2
PERAN
TOKOH-TOKOH DAERAH DALAM PERJUANGAN KEMERDEKAAN INDONESIA
1.
Tjut Nyak’ Dien (Aceh)
Sumber: https://www.kompasiana.com/image
Cut
Nyak Dhien adalah pahlawan wanita Indonesia inspiratif dari Aceh yang lahir pada tahun 1848. Dia adalah anak
dari keluarga bangsawan yang agamis. Pada
tahun 1880 Cut Nyak Dhien menikah dengan Teuku Umar dan dikaruniai seorang anak bernama Cut Gambang. Cut Nyak
Dhien dan Teuku Umar berjuang bersama
melawan penjajah Belkalian, namun pada tahun 1899 Teuku Umar gugur ditembak
oleh pasukan Belkalian, karena Belkalian merasa dikhianati oleh Teuku Umar dengan berpura-pura memihak Belkalian. Teuku Umar pada awalnya merahasiakan rencana nya untuk menjatuhkan belkalian
tetapi seiring berjalannya waktu akhirnya belkalian
mengetahuinya dan membunuhnya. Ketika ayahnya meninggal, Cut Gambang menangis
dan ibunya (Cut Nyak Dhien)
berkata ''sebagai perempuan
Aceh tidak boleh menumpahkan air mata pada orang yang sudah syahid''
Namun
Cut Nyak Dhien tidak berhenti berjuang meskipun Teuku Umar meninggal ia tetap melanjutkan perjuangan
suami nya dengan berjuang sendiri memimpin
perang di daerah pedalaman Meulaboh bersama dengan pasukannya. Belkalian
selalu berusaha untuk menangkap Cut Nyak Dhien karena merasa bahwa Cut Nyak Dien sangat berpengaruh pada masyarakatnya dalam berperang, namun sayang Belkalian
seringkali gagal menangkapnya karena taktik yang dimilikinya.
Kemudian
Cut Nyak Dhien di khianati oleh seorang yang sangat dipercayai nya yaitu Teuku Leabeh, dia menjadi mata-mata
dan memberi tahu kepada belkalian
dimana Cut Nyak Dhien berada dan merencanakan untuk menangkapnya
namun akhinya Cut Nyak Dhien mengetahuinya, akhirnya teuku leabeh
bersama dengan pasukan belkalian terbunuh.
Semakin menua kondisi kesehatan
Cut Nyak Dhien semakin memprihatinkan, matanya yang sudah mulai
rabun, dan hal ini membuat iba dan akhirnya
salah satu anak buahnya yang bernama Pang Laot memberi tahu lokasi Cut Nyak Dhien kepada Belkalian dengan
syarat mereka harus merawat Cut Nyak Dhien dengan baik kemudian
Belkalian mengasingkan Cut Nyak Dhien di Sumedang dan ia pun meninggal disana pada tahun 1906.
2.
Sisinga Mangaraja
XII (Tapanuli Sumatera
Utara)
Sisingamangaraja XII (lahir di Bakara, 18 Februari 1845
– meninggal di Dairi, 17
Juni 1907 pada umur 62 tahun)
adalah seorang raja
di negeri Toba, Sumatra
Utara, pejuang yang berperang melawan Belkalian,
kemudian diangkat oleh pemerintah Indonesia sebagai Pahlawan Nasional Indonesia
sejak tanggal 9 November 1961 berdasarkan SK Presiden RI No 590/1961.
Sebelumnya ia dimakamkan di Tarutung Tapanuli Utara, lalu dipindahkan ke Soposurung, Balige pada tahun
1953.
Sisingamangaraja
XII nama kecilnya adalah Patuan Bosar, yang kemudian digelari dengan Ompu Pulo Batu. Ia juga dikenal dengan
Patuan Bosar Ompu Pulo Batu, naik takhta pada tahun 1876
menggantikan ayahnya Sisingamangaraja XI yang bernama Ompu Sohahuaon, selain
itu ia juga disebut juga sebagai raja imam. Penobatan Sisingamangaraja XII sebagai maharaja
di negeri Toba bersamaan dengan
dimulainya open door policy (politik pintu terbuka) Belkalian dalam mengamankan
modal asing yang beroperasi di Hindia Belkalian, dan yang tidak mau menkaliantangani Korte Verklaring (perjanjian pendek) di Sumatra terutama Kesultanan Aceh
dan Toba,
di mana kerajaan ini membuka hubungan dagang
dengan negara-negara Eropa lainya. Di sisi lain Belkalian sendiri
berusaha untuk menanamkan monopolinya atas kerajaan tersebut.
Politik yang berbeda
ini mendorong situasi
selanjutnya untuk melahirkan Perang Tapanuli yang
berkepanjangan hingga puluhan tahun.
Pada 1824 Perjanjian Belkalian
Inggris (Anglo-Dutch Treaty of 1824) memberikan seluruh wilayah Inggris
di Sumatra kepada Belkalian. Hal ini membuka peluang bagi Hindia Belkalian
untuk meng-aneksasi seluruh wilayah yang belum dikuasai di Sumatra.
Pada
tahun 1873 Belkalian melakukan invasi militer ke Aceh (Perang
Aceh, dilanjutkan dengan invasi ke Tanah Batak pada 1878.
Raja-raja huta Kristen
Batak menerima masuknya Hindia
Belkalian ke Tanah Batak, sementara Raja Bakkara, Si Singamangaraja yang memiliki hubungan
dekat dengan Kerajaan
Aceh menolak dan menyatakan perang.
Pada
tahun 1877 para misionaris di Silindung dan Bahal Batu meminta bantuan
kepada pemerintah kolonial
Belkalian dari ancaman
diusir oleh Singamangaraja XII. Kemudian pemerintah
Belkalian dan para penginjil sepakat untuk
tidak hanya menyerang markas Si Singamangaraja XII di Bakara tetapi sekaligus menaklukkan seluruh Toba. Pada
tanggal 6
Februari 1878
pasukan Belkalian sampai di Pearaja,
tempat kediaman penginjil
Ingwer Ludwig Nommensen. Kemudian beserta penginjil Nommensen
dan Simoneit sebagai
penerjemah pasukan Belkalian
terus menuju ke Bahal
Batu untuk menyusun benteng pertahanan. Namun kehadiran
tentara kolonial ini telah memprovokasi Sisingamangaraja XII, yang kemudian mengumumkan pulas (perang) pada tanggal 16 Februari 1878 dan
penyerangan ke pos Belkalian di Bahal Batu mulai dilakukan.
Pada tanggal
14 Maret 1878 datang Residen Boyle bersama
tambahan pasukan yang dipimpin
oleh Kolonel Engels sebanyak 250 orang tentara
dari SibolgaPada tanggal 1 Mei 1878, Bangkara pusat
pemerintahan Si Singamangaraja diserang pasukan kolonial
dan pada 3 Mei 1878 seluruh Bangkara dapat ditaklukkan namun Singamangaraja XII beserta pengikutnya dapat menyelamatkan
diri dan terpaksa keluar mengungsi. Sementara para raja yang tertinggal di Bakara dipaksa
Belkalian untuk bersumpah
setia dan kawasan
tersebut dinyatakan berada dalam
kedaulatan pemerintah Hindia Belkalian.
Walaupun
Bakara telah ditaklukkan, Singamangaraja XII terus melakukan perlawanan secara gerilya, tetapi sampai akhir Desember 1878 beberapa kawasan
seperti Butar, Lobu Siregar, Naga Saribu, Huta Ginjang, Gurgur juga dapat ditaklukkan oleh pasukan kolonial Belkalian.
Di antara tahun 1883-1884, Singamangaraja XII berhasil
melakukan konsolidasi
pasukannya. Kemudian bersama pasukan bantuan dari Aceh, secara ofensif menyerang kedudukan Belkalian antaranya Uluan dan Balige
pada Mei 1883 serta
Tangga Batu pada tahun 1884
Sisinga Mangaraja
XII
Sumber: https://id.wikipedia.org/wiki/Berkas:Sisingamangaraja_XII.jpg
Singamangaraja XII meninggal pada 17 Juni 1907 dalam sebuah pertempuran dengan Belkalian di pinggir bukit Lae Sibulbulen, di suatu desa yang namanya
Si Onom Hudon, di perbatasan Kabupaten Tapanuli Utara dan Kabupaten
Dairi yang sekarang. Sebuah peluru menembus dadanya,
akibat tembakan pasukan
Belkalian yang dipimpin Kapten Hans Christoffel. Menjelang napas terakhir dia tetap berucap, Ahuu Sisingamangaraja. Turut gugur waktu
itu dua putranya Patuan Nagari dan
Patuan Anggi, serta putrinya Lopian. Sementara
keluarganya yang tersisa
ditawan di Tarutung.
Sisingamangaraja XII sendiri
kemudian dikebumikan Belkalian secara militer pada 22
Juni 1907 di Silindung, setelah sebelumnya mayatnya diarak dan
dipertontonkan kepada masyarakat Toba. Makamnya
kemudian dipindahkan ke Makam Pahlawan
Nasional di Soposurung, Balige sejak 14 Juni 1953, yang
dibangun oleh Pemerintah, Masyarakat dan keluarga. Sisingamangaraja XII digelari Pahlawan
Kemerdekaan Nasional dengan Surat Keputusan
Pemerintah Republik Indonesia
No. 590 tertanggal 19 Nopember
1961.
3.
Tuanku Imam Bonjol (Sumatera Barat)
Tuanku Imam Bonjol
(lahir di Bonjol, Pasaman, Sumatra Barat, Indonesia, 1772
- wafat dalam pengasingan dan dimakamkan
di Lotta, Pineleng, Minahasa, 6 November 1864) adalah salah seorang
ulama, pemimpin dan pejuang yang berperang melawan
Belkalian dalam peperangan yang dikenal
dengan nama Perang Padri pada
tahun 1803-1838.Tuanku Imam Bonjol diangkat
sebagai Pahlawan Nasional Indonesia berdasarkan SK Presiden RI Nomor 087/TK/Tahun 1973, tanggal 6 November 1973.
Nama asli dari Tuanku Imam Bonjol adalah Muhammad Syahab, yang lahir di Bonjol pada 1
Januari 1772. Dia merupakan
putra dari pasangan Bayanuddin Syahab (ayah) dan Hamatun
(ibu). Ayahnya, Khatib Bayanuddin Syahab,
merupakan seorang alim ulama yang berasal dari Sungai Rimbang, Suliki, Lima Puluh Kota. Sebagai ulama dan pemimpin
masyarakat setempat, Muhammad
Syahab memperoleh beberapa gelar, yaitu Peto Syarif, Malin Basa,
dan Tuanku Imam. Tuanku nan Renceh dari Kamang, Agam sebagai
salah seorang pemimpin dari Harimau nan Salapan adalah yang
menunjuknya sebagai Imam (pemimpin) bagi kaum Padri di Bonjol. Ia akhirnya lebih dikenal dengan sebutan Tuanku
Imam Bonjol. Salah satu Naskah aslinya ada di Dinas Kearsipan dan Perpustakaan Provinsi Sumatra Barat
Jalan Diponegoro No.4 Padang Sumatra Barat. Naskah tersebut dapat dibaca dan dipelajari di Dinas Kearsipan
dan Perpustakà an Provinsi Sumatra Barat.
Tak dapat dipungkiri, Perang Padri meninggalkan kenangan heroik sekaligus
traumatis dalam memori bangsa. Selama sekitar 18 tahun pertama
perang itu (1803-1821) praktis yang berperang adalah sesama orang Minang dan Mkalianiling atau
Batak umumnya.
Pada awalnya timbulnya peperangan
ini didasari keinginan
dikalangan pemimpin ulama
di kerajaan Pagaruyung untuk menerapkan dan menjalankan syariat Islam sesuai dengan Ahlus Sunnah wal Jamaah (Sunni) yang berpegang teguh pada Al-Qur'an dan sunnah-sunnah
Rasullullah shalallahu 'alaihi wasallam. Kemudian pemimpin ulama yang tergabung dalam Harimau nan Salapan
meminta Tuanku Lintau untuk mengajak
Yang Dipertuan Pagaruyung
beserta Kaum Adat untuk meninggalkan beberapa kebiasaan yang tidak sesuai
dengan Islam (bid'ah). Dalam beberapa perundingan tidak ada kata sepakat antara Kaum Padri (penamaan bagi kaum ulama) dengan Kaum Adat.
Seiring itu di beberapa nagari dalam kerajaan Pagaruyung bergejolak, dan sampai akhirnya
Kaum Padri di bawah pimpinan Tuanku Pasaman menyerang Pagaruyung pada
tahun 1815, dan pecah pertempuran di Koto Tangah dekat Batu Sangkar. Sultan Arifin
Muningsyah terpaksa melarikan
diri dari ibu kota kerajaan
ke Lubukjambi.
Pada 21 Februari 1821, kaum
Adat secara resmi bekerja sama dengan pemerintah Hindia Belkalian berperang melawan kaum
Padri dalam perjanjian yang
ditkaliantangani di Padang,
sebagai kompensasi Belkalian
mendapat hak akses dan penguasaan
atas wilayah darek (pedalaman Minangkabau). Perjanjian itu dihadiri juga oleh sisa keluarga dinasti
kerajaan Pagaruyung di
bawah pimpinan Sultan Tangkal Alam Bagagar yang sudah
berada di Padang waktu itu.
Gambar:Tuanku Imam Bonjol
Sumber;
https://id.wikipedia.org/wiki/Berkas:Portret_van_Tuanku_Imam_Bonjol.jpg
Campur
tangan Belkalian
dalam perang itu ditkaliani dengan
penyerangan Simawang dan Sulit Air oleh
pasukan Kapten Goffinet dan Kapten Dienema awal April 1821 atas perintah Residen James du Puy di Padang. Dalam
hal ini, Kompeni melibatkan diri
dalam perang karena "diundang" oleh kaum Adat.
Perlawanan
yang dilakukan oleh pasukan Padri cukup tangguh sehingga sangat menyulitkan Belkalian untuk menundukkannya. Oleh sebab
itu, Belkalian melalui Gubernur
Jenderal Johannes van den Bosch
mengajak pemimpin Kaum Padri yang kala itu telah dipimpin oleh Tuanku Imam Bonjol untuk berdamai dengan maklumat Perjanjian Masang pada tahun 1824.
Hal ini dimaklumi karena pada saat bersamaan Batavia juga kehabisan dana dalam menghadapi peperangan lain di Eropa dan Jawa seperti
Perang Diponegoro. Tetapi kemudian
perjanjian ini dilanggar sendiri oleh Belkalian dengan menyerang nagari Pkaliani Sikek.
Namun, sejak awal 1833 perang berubah
menjadi perang antara
kaum Adat dan kaum Padri melawan Belkalian, kedua pihak bahu-membahu melawan Belkalian, Pihak-pihak yang semula bertentangan akhirnya bersatu melawan
Belkalian. Di ujung penyesalan muncul kesadaran, mengundang Belkalian
dalam konflik justru menyengsarakan
masyarakat Minangkabau
itu sendiri. Bersatunya kaum Adat dan kaum Padri ini dimulai
dengan adanya kompromi yang dikenal dengan
nama Plakat Puncak Pato di Tabek Patah
yang mewujudkan konsensus Adat basandi
Syarak, Syarak basandi
Kitabullah (Adat berdasarkan Agama, Agama berdasarkan Kitabullah (Al-Qur'an).
Rasa penyesalan Tuanku Imam Bonjol atas tindakan
kaum Padri atas sesama orang Minang,
Mkalianiling dan Batak,
terefleksi dalam ucapannya
Adopun hukum Kitabullah banyak lah malampau dek ulah kito juo. Baa dek kalian?
(Adapun banyak hukum
Kitabullah yang sudah terlangkahi oleh kita. Bagaimana pikiran kalian?).
Penyerangan dan pengepungan benteng kaum Padri di Bonjol oleh Belkalian dari segala jurusan selama sekitar enam bulan (16 Maret-17
Agustus 1837) yang dipimpin oleh jenderal dan para perwira
Belkalian, tetapi dengan tentara yang sebagian
besar adalah bangsa pribumi yang terdiri dari berbagai suku, seperti Jawa, Madura, Bugis, dan
Ambon. Dalam daftar nama para perwira pasukan
Belkalian, terdapat Mayor Jenderal Cochius, Letnan Kolonel Bauer, Mayor
Sous, Kapten MacLean, Letnan Satu Van
der Tak, Pembantu Letnan Satu Steinmetz. dan
seterusnya, tetapi juga terdapat nama-nama Inlandsche (pribumi) seperti
Kapitein Noto Prawiro,
Inlandsche Luitenant Prawiro di Logo, Karto Wongso Wiro Redjo, Prawiro
Sentiko, Prawiro Brotto, dan Merto Poero. Terdapat 148 perwira Eropa,
36 perwira pribumi,
1.103 tentara Eropa, 4.130 tentara pribumi, Sumenapsche hulptroepen hieronder begrepen (pasukan pembantu Sumenep, Madura). Serangan
terhadap benteng Bonjol dimulai oleh orang-orang
Bugis yang berada di bagian depan dalam penyerangan pertahanan Padri. Dari Batavia
didatangkan terus tambahan kekuatan tentara Belkalian, di mana pada tanggal 20
Juli 1837 tiba dengan Kapal Perle
di Padang, Kapitein Sinninghe,
sejumlah orang Eropa
dan Afrika,
1 sergeant, 4 korporaals dan 112 flankeurs. Yang belakangan ini menunjuk
kepada serdadu Afrika yang direkrut oleh
Belkalian di benua itu, kini negara Ghana dan Mali.
Mereka juga disebut Sepoys dan berdinas
dalam tentara Belkalian.
Setelah
datang bantuan dari Batavia, maka Belkalian mulai melanjutkan kembali
pengepungan, dan pada masa-masa selanjutnya, kedudukan Tuanku Imam Bonjol bertambah sulit, namun ia
masih tak sudi untuk menyerah kepada Belkalian.
Sehingga sampai untuk ketiga kali Belkalian mengganti komkaliann perangnya untuk merebut Bonjol, yaitu
sebuah negeri kecil dengan benteng dari tanah
liat yang di sekitarnya dikelilingi oleh parit-parit. Barulah pada tanggal 16 Agustus 1837, Benteng Bonjol
dapat dikuasai setelah
sekian lama dikepung.
Tuanku Imam Bonjol menyerah
kepada Belkalian pada Oktober 1837, dengan
kesepakatan bahwa anaknya yang ikut bertempur selama ini, Naali Sutan Chaniago, diangkat sebagai pejabat
kolonial Belkalian. Imam Bonjol dibuang
ke ke Cianjur,
Jawa
Barat. Kemudian dipindahkan ke Ambon dan
akhirnya ke Lotta, Minahasa, dekat Manado.
Di tempat terakhir itu ia meninggal dunia
pada tanggal 8
November 1864. Tuanku Imam Bonjol
dimakamkan di tempat pengasingannya tersebut. Tuanku Imam Bonjol menulis autobiografi yang dinamakan Naskah Tuanku
Imam Bonjol yang antara lain berisi penyesalannya atas kekejaman dalam perang Padri.Tulisan tersebut
merupakan karya sastra autobiografi pertama dalam
bahasa Melayu disimpan oleh keturunan Imam Bonjol dan dipublikasikan tahun 1925
di Berkley, dan 2004 di
Padang.
Perjuangan
yang telah dilakukan oleh Tuanku Imam Bonjol dapat menjadi apresiasi
akan kepahlawanannya dalam menentang penjajahan,sebagai penghargaan dari pemerintah Indonesia yang mewakili rakyat
Indonesia pada umumnya, Tuanku Imam
Bonjol diangkat sebagai Pahlawan Nasional Indonesia sejak tanggal 6 November
1973. Selain itu, nama Tuanku Imam Bonjol juga
hadir di ruang publik bangsa sebagai
nama jalan, nama stadion, nama universitas, bahkan pada lembaran uang Rp 5.000
keluaran Bank Indonesia 6
November 2001.
4.
Sultan Mahmud Badarudin (Palembang)
Sultan Mahmud Badaruddin II
Sumber: https://id.wikipedia.org/wiki/Sultan_Mahmud_Badaruddin_II
Sultan Mahmud Badaruddin II (lahir: Palembang, 1767, wafat: Ternate, 26 September
1852)
adalah pemimpin kesultanan Palembang-Darussalam
selama dua periode (1803-1813, 1818-1821), setelah
masa pemerintahan ayahnya,
Sultan Muhammad Bahauddin (1776-1803). Nama aslinya sebelum
menjadi Sultan adalah Raden Hasan
Pangeran Ratu.
Dalam
masa pemerintahannya, ia beberapa kali memimpin pertempuran melawan Inggris
dan Belkalian, di
antaranya yang disebut Perang Menteng. Pada tangga 14 Juli 1821, ketika Belkalian berhasil
menguasai Palembang, Sultan Mahmud Badaruddin II dan keluarga
ditangkap dan diasingkan ke Ternate.
Namanya kini diabadikan sebagai
nama bkalianra internasional di Palembang, Bkalianra Sultan Mahmud Badaruddin II dan
Mata uang rupiah pecahan 10.000-an
yang dikeluarkan oleh bank Indonesia
pada tanggal 20 Oktober
2005.
Penggunaan gambar SMB II di uang kertas ini sempat menjadi kasus pelanggaran hak cipta, diduga gambar tersebut digunakan
tanpa izin pelukisnya, namun kemudian terungkap bahwa
gambar ini telah menjadi hak milik panitia
penyelenggara lomba lukis wajah SMB II.
Konflik dengan Inggris Sejak
timah ditemukan di Bangka pada pertengahan abad
ke-18, Palembang dan wilayahnya menjadi incaran Britania dan Belkalian. demi menjalin
kontrak dagang, bangsa
Eropa berniat menguasai Palembang. Awal mula penjajahan bangsa Eropa ditkaliani dengan penempatan Loji (kantor dagang). Di Palembang, loji pertama Belkalian dibangun
di Sungai Aur (10 Ulu).
Orang Eropa pertama yang dihadapi Sultan Mahmud Badaruddin II (SMB II) adalah
Sir
Thomas Stamford Raffles. Raffles
tahu persis tabiat Sultan Palembang ini.
Karena itu, Raffles sangat menaruh hormat di samping ada kekhawatiran sebagaimana tertuang dalam laporan kepada
atasannya, Lord
Minto, tanggal 15 Desember
1810:
Bersamaan
dengan adanya kontak antara Britania dan Palembang, hal yang sama juga dilakukan
Belkalian. Dalam hal ini, melalui
utusannya, Raffles berusaha
membujuk SMB II untuk mengusir Belkalian dari Palembang (surat
Raffles tanggal 3 Maret 1811).
Dengan
bijaksana, SMB II membalas surat Raffles yang intinya mengatakan bahwa Palembang tidak ingin terlibat dalam
permusuhan antara Britania dan Belkalian, serta
tidak ada niatan bekerja sama dengan Belkalian. Namun akhirnya terjalin
kerja sama Britania-Palembang, di mana pihak Palembang lebih diuntungkan.
Pada
tanggal 14
September 1811 terjadi peristiwa
pembumihangusan dan pembantaian di loji Sungai Alur. Belkalian
menuduh Britanialah yang memprovokasi Palembang
agar mengusir Belkalian. Sebaliknya, Britania cuci tangan, bahkan
langsung menuduh SMB II yang berinisiatif melakukannya.
Raffles
terpojok dengan peristiwa loji Sungai Aur, tetapi masih berharap dapat berunding dengan SMB II dan
mendapatkan Bangka sebagai kompensasi kepada
Britania. Harapan Raffles ini tentu saja ditolak SMB II. Akibatnya, Britania mengirimkan armada perangnya di bawah pimpinan
Gillespie dengan alasan menghukum
SMB II. Dalam sebuah pertempuran singkat, Palembang berhasil dikuasai dan SMB II menyingkir ke Muara Rawas, jauh di hulu Sungai Musi.
Setelah
berhasil menduduki Palembang, Britania merasa perlu mengangkat penguasa boneka yang baru. Setelah
menkaliantangani perjanjian dengan syarat- syarat
yang menguntungkan Britania, tanggal 14 Mei 1812 Pangeran Adipati
(adik kandung SMB II) diangkat
menjadi sultan dengan
gelar Ahmad Najamuddin II atau Husin Diauddin.
Pulau Bangka berhasil dikuasai dan namanya diganti menjadi Duke
of York's Island. Di Mentok,
yang kemudian dinamakan Minto, ditempatkan Kapten Robert Meares dari
kesatuan 17th Native Infantry of East
India Company sebagai residen.
Meares
berambisi menangkap SMB II yang telah membuat kubu di Muara Rawas. Pada 28 Agustus 1812 ia membawa
pasukan dan persenjataan yang diangkut dengan perahu untuk menyerbu Muara Rawas. Dalam sebuah pertempuran di Buay Langu, Meares tertembak dan akhirnya
tewas setelah dibawa kembali
ke Bangka. Kedudukannya digantikan oleh Mayor Robison.
Belajar
dari pengalaman Meares, Robison mau berdamai dengan SMB II. Melalui serangkaian perundingan, SMB II
kembali ke Palembang dan naik takhta kembali pada 13 Juli 1813 hingga dilengserkan kembali pada Agustus 1813. Sementara itu, Robison dipecat
dan ditahan Raffles
karena mkaliant yang diberikannya tidak
sesuai.
Konvensi London 13 Agustus 1814 membuat Britania menyerahkan kembali kepada Belkalian semua koloninya di seberang lautan
sejak Januari 1803. Kebijakan ini tidak menyenangkan Raffles karena harus menyerahkan Palembang kepada Belkalian. Serah terima terjadi pada 19 Agustus 1816 setelah tertunda
dua tahun, itu pun
setelah Raffles digantikan oleh John Fendall.
Belkalian kemudian
mengangkat Herman Warner Muntinghe sebagai komisaris di Palembang. Tindakan pertama yang dilakukannya adalah
mendamaikan kedua sultan, SMB II dan Husin Diauddin. Tindakannya
berhasil, SMB II berhasil naik takhta kembali
pada 7 Juni 1818. Sementara itu, Husin Diauddin
yang pernah bersekutu
dengan Britania berhasil
dibujuk oleh Muntinghe
ke Batavia dan akhirnya
dibuang ke Cianjur.
Pada dasarnya pemerintah kolonial Belkalian tidak percaya kepada
raja-raja Melayu. Mutinghe mengujinya dengan melakukan
penjajakan ke pedalaman
wilayah Kesultanan Palembang dengan
alasan inspeksi dan inventarisasi daerah. Ternyata
di daerah Muara Rawas ia dan pasukannya diserang pengikut SMB II yang masih setia. Sekembalinya ke
Palembang, ia menuntut agar Putra Mahkota diserahkan kepadanya. Ini dimaksudkan sebagai
jaminan kesetiaan sultan
kepada Belkalian. Bertepatan dengan habisnya waktu ultimatum Mutinghe
untuk penyerahan Putra Mahkota,
SMB mulai menyerang Belkalian
Pertempuran melawan
Belkalian yang dikenal
sebagai Perang Menteng (dari kata Muntinghe) pecah pada tanggal 12
Juni 1819. Perang ini
merupakan perang paling dahsyat pada
waktu itu, di mana korban terbanyak ada pada pihak Belkalian. Pertempuran berlanjut
hingga keesokan hari, tetapi pertahanan Palembang tetap sulit ditembus, sampai akhirnya Muntinghe
kembali ke Batavia tanpa membawa kemenangan.
Belkalian
tidak menerima kenyataan itu. Gubernur Jenderal G.A.G.Ph. van der Capellen merundingkannya dengan Laksamana Constantijn Johan Wolterbeek dan Mayjen Hendrik Merkus de Kock dan
diputuskan mengirimkan ekspedisi ke Palembang dengan kekuatan dilipatgkaliankan. Tujuannya melengserkan dan menghukum SMB II, kemudian
mengangkat keponakannya (Pangeran Jayaningrat) sebagai
penggantinya.
SMB
II telah memperhitungkan akan ada serangan balik. Karena itu, ia menyiapkan sistem perbentengan yang
tangguh. Di beberapa tempat di Sungai Musi, sebelum
masuk Palembang, dibuat benteng-benteng pertahanan yang dikomkalianni keluarga
sultan. Kelak, benteng-benteng ini sangat berperan
dalam pertahanan Palembang.
Pertempuran
sungai dimulai pada tanggal 21
Oktober 1819 oleh Belkalian dengan tembakan atas perintah Wolterbeek. Serangan ini disambut
dengan tembakan-tembakan
meriam dari tepi Musi. Pertempuran baru berlangsung satu hari, Wolterbeek menghentikan penyerangan dan akhirnya kembali
ke Batavia pada 30 Oktober 1819.
SMB II masih memperhitungkan dan mempersiapkan diri akan adanya serangan
balasan. Persiapan pertama adalah restrukturisasi dalam pemerintahan. Putra Mahkota, Pangeran Ratu, pada
Desember 1819 diangkat sebagai sultan dengan
gelar Ahmad Najamuddin III.
SMB II lengser dan bergelar susuhunan. Penanggung jawab benteng-benteng dirotasi,
tetapi masih dalam lingkungan keluarga
sultan.
Setelah
melalui penggarapan bangsawan ( susuhunan husin diauddin dan sultan ahmad najamuddin prabu anom )dan orang Arab Palembang melalui
pekerjaan spionase, dan tempat tempat pertahanan disepanjang sungai musi sudah diketahui
oleh belkalian serta persiapan angkatan
perang yang kuat, Belkalian
datang ke Palembang
dengan kekuatan yang lebih besar. Tanggal 16 Mei 1821
armada Belkalian sudah memasuki perairan
Musi. Kontak senjata pertama terjadi
pada 11
Juni 1821 hingga menghebatnya pertempuran pada 20
Juni 1821. Pada pertempuran 20 Juni ini, sekali lagi, Belkalian mengalami kekalahan. De Kock tidak memutuskan untuk kembali ke Batavia, melainkan
mengatur strategi penyerangan.
Bulan
Juni 1821 bertepatan dengan bulan suci Ramadhan. Hari
Jumat dan Minggu dimanfaatkan oleh
dua pihak yang bertikai untuk beribadah. De Kock memanfaatkan kesempatan ini. Ia memerintahkan pasukannya untuk tidak menyerang
pada hari Jumat dengan harapan SMB II juga tidak menyerang pada hari Minggu. Pada waktu dini hari Minggu 24 Juni, ketika rakyat Palembang sedang makan sahur, Belkalian secara
tiba-tiba menyerang Palembang. di depan sekali
kapal yang tumpangi saudaranya Susuhunan Husin Diauddin dan Sultan Ahmad Najamuddin Prabu Anom dan Susuhunan
Ratu Bahmud Badaruddin / SMB 2 merasa serba salah, kalau ditembak
saudaranya sendiri yang berada dikapal belkalian dan anggapan orang sultan palembang
Darussalam sampai hati membunuh saudara
karena harta / tahta (Badar Darussalam
Serangan
dadakan ini tentu saja melumpuhkan Palembang karena mengira pada hari Minggu orang Belkalian tidak
menyerang. Setelah melalui perlawanan yang hebat, tanggal 25 Juni 1821 Palembang
jatuh ke tangan
Belkalian. Kemudian pada 1 Juli 1821 berkibarlah bendera rod, wit, en blau di
bastion Kuto Besak, maka resmilah
kolonialisme Hindia Belkalian di
Palembang.
Tanggal
13
Juli 1821, menjelang tengah
malam tanggal 3 Syawal , SMB II beserta
sebagian keluarganya menaiki kapal Dageraad
pada tanggal 4 syawal dengan
tujuan Batavia. Dari Batavia SMB II dan keluarganya diasingkan ke Pulau Ternate
sampai akhir hayatnya 26
September 1852.
Sebagian Keluarga Sultan karena tidak
mau ditangkap, mengasingkan diri ke daerah Marga Sembilan yang di kenal sekarang
sebagai Kabupaten Ogan Komering
Ilir dan berasimilasi dengan penduduk di
Desa yang dilewati Mulai dari Pampangan sampai ke Marga Selapan Kecamatan Tulung Selapan Panglima Radja Batu Api sampai meninggal
disemayamkan Di Tulung Selapan.
( selama 35 tahun tinggal
di Ternate dan sketsa tempat
tinggal Sri Paduka Susuhunan Ratu Mahmud Badaruddin / SMB II disimpan oleh Sultan Mahmud Badaruddin III Prabu
Diradja).
5.
Radin Inten
II (Lampung)
Gambar: Radin Inten II
Sumber : https://id.wikipedia.org/wiki/Berkas:Portret_van_Tuanku_Imam_Bonjol.jpg
Radin Inten II (Aksara Lampung:; lahir lahir di Kuripan, Lampung,
1 Januari 1834
– meninggal di Negara Ratu, Lampung,
5 Oktober 1858 pada
umur 24 tahun adalah seorang
pahlawan nasional Indonesia. Namanya diabadikan sebagai sebuah
Bkalianra Radin Inten II
dan perguruan tinggi IAIN Raden Intan di
Lampung.
Berdasarkan
penelitian, Radin Inten II masih keturunan Fatahillah
yang dikenal sebagai Sunan Gunung Jati dari perkawinannya dengan
Putri Sinar Alam, seorang putri dari Minak Raja Jalan Ratu dari Keratuan Pugung, cikal-bakal pemegang kekuasaan di keratuan tersebut.
Radin
Inten II adalah putra tunggal Radin Imba II (1828-1834).
Radin Imba II sendiri putra sulung
Radin Inten I gelar Dalam Kesuma Ratu IV (1751-1828). Dengan
demikian, Radin Inten II cucu
dari Radin Inten I.
Pada saat Radin Inten II lahir
tahun 1834, ayahnya, Radin Imba II, ditangkap oleh Belkalian
dan dibuang ke P.
Timor, akibat memimpin perlawanan bersenjata menentang kehadiran Belkalian yang ingin menjajah
Lampung. Istrinya yang sedang hamil tua, Ratu Mas, tidak dibawa ke pengasingannya. Pemerintahan Keratuan Lampung dijalankan oleh Dewan Perwalian
yang dikontrol oleh Belkalian.
Radin
Inten II tidak pernah mengenal ayah kandungnya tersebut, tetapi ibunya selalu menceritakan perjuangan
ayahnya sehingga pada saat dinobatkan sebagai Ratu Negara Ratu, Radin Inten II melanjutkan berjuang memimpin rakyat
di daerah Lampung
untuk mempertahankan kedaulatan dan keutuhan wilayahnya. Perjuangannya didukung secara
luas oleh rakyat daerah Lampung dan mendapatkan bantuan dari daerah
lain, seperti Banten.
Salah
satunya dengan H. Wakhia, tokoh Banten yang pernah melakukan perlawanan terhadap Belkalian dan kemudian
menyingkir ke Lampung. Radin Inten II
mengangkat H. Wakhia sebagai penasihatnya. H. Wakhia menggerakkan perlawanan di daerah Semangka
dan Sekampung dengan menyerang
pos-pos militer Belkalian. Tokoh lain
yang juga menjadi pendukung utama Radin Inten II ialah Singa Beranta,
Kepala Marga Rajabasa.
Sementara itu, Radin Inten
II memperkuat benteng-benteng yang sudah ada dan membangun
benteng-benteng baru. Benteng-benteng ini dipersenjatai dengan meriam, lila, dan senjata-senjata tradisional. Bahan makanan seperti
beras dan ternak disiapkan
dalam benteng untuk menghadapi perang
yang diperkirakan akan berlangsung lama. Semua benteng
tersebut terletak di punggung gunung yang
terjal, sehingga sulit dicapai musuh. Beberapa panglima perang ditugasi memimpin
benteng-benteng tersebut. Singaberanta, misalnya, memimpin benteng
Bendulu, sedangkan Radin Inten II sendiri memimpim
benteng Ketimbang.
Melihat
munculnya kembali perlawanan di daerah Lampung setelah reda selama enam belas tahun, pada tahun 1851
Belkalian mengirim pasukan dari Batavia.
Pasukan berkekuatan 400 prajurit yang
dipimpin oleh Kapten Jucht ini bertugas
merebut benteng Merambung. Akan tetapi, mereka
dipukul mundur oleh pasukan
Radin Inten II. Karena gagal merebut Merambung, Belkalian mengubah taktik. Kapten Kohler, Asisten Residen
Belkalian di Teluk Betung, ditugasi
untuk mengadakan perundingan dengan Radin Inten II.
Setelah berkali – kali mengadakan perundingan, akhirnya dicapai
perjanjian untuk tidak saling
menyerang. Belkalian mengakui eksistensi Negara Ratu. Raden Inten II pun mengakui kekuasaan Belkalian di tempat – tempat yang sudah mereka duduki.
Perjanjian itu digunakan Belkalian hanya sebagai adem pause menunggu kesempatan untuk melancarkan serangan
besar – besaran. Bagi mereka dengan cara apa pun,
Raden Inten II harus ditundukan.
Belkalian
yakin, selama Radin Inten II masih berkuasa, kedudukan mereka di Lampung akan tetap terancam. Namun,
sebelum memulai serangan-serangan baru,
Belkalian berusaha memecah belah masyarakat Lampung. Kelompok yang satu diadu dengan kelompok yang lain. Di kalangan masyarakat ditimbulkan suasana saling
mencurigai. Tugas itu dipercayakan kepda Kapten Kohler.
Di beberapa
tempat usahanya berhasil.
Pemuka – pemuka masyarakat Kalikalian, misalnya,
termakan hasutan untuk memusuhi Radin Inten II, sehingga mereka tidak menghalang – halangi pasukan
Belkalian berpatroli di sekitar Gunung Rajabasa.
Pada tanggal
10 Agustus 1856 pasukan Belkalian
diberangkatkan dari Batavia dengan beberapa kapal perang. Pasukan
ini dipimpin oleh Kolonel Welson
dan terdiri atas pasukan infanteri,
artileri dan zeni
disertai sejumlah besar kuli pengangkut barang. Esok harinya mereka
mendarat di Canti. Kekuatan mereka bertambah dengan bergabungnya pasukan
Pangeran Sempurna Jaya Putih, bangsawan
Lampung yang sudah memihak
Belkalian.
Iring – iringan kapal perang Belkalian yang memasuki perairan
Lampung ini dilihat oleh Singaberanta dari Benteng
Bendulu. Ia segera mengirim kurir ke Benteng
Ketimbang untuk memberitahukan hal itu kepada Radin Inten II yang selanjutnya memerintahkan pasukannya di benteng-benteng lain agar menyiapkan diri.
Belkalian
mengirim ultimatum kepada Radin Inten II agar paling lambat dalam waktu lima hari ia dam seluruh
pasukannya menyerahkan diri. Bila tidak, Belkalian akan melancarkan serangan.
Singaberanta pun dikirimi
surat yang mengajaknya untuk berdamai. Sambil
menunggu jawaban dari Radin Inten II dan Singaberanta, pasukan Belkalian mengadakan konsolidasi. Radin Inten II pun meningkatkan persiapannya.
Benteng-benteng diperkuat. Beberapa orang kepercayaannya diperintahkan memasuki daerah-daerah yang sudah dikuasai
Belkalian untuk menganjurkan penduduk
di tempat tersebut
agar mengadakan perlawanan. Sampai batas waktu ultimatum berakhir, baik Radin Inten II maupun
Singaberanta tidak memberikan jawaban.
Maka, pada tanggal 16 Agustus 1856 pasukan Belkalian
pun mulai melancarkan serangan. Sasaran mereka hari
itu ialah merebut Benteng Bendulu. Pukul
08.00 mereka sudah tiba di Bendulu setelah menempuh jarak setapak di punggung gunung yang cukup terjal. Akan tetapi,
mereka menemukan benteng
itu dalam keadaan
kosong. Singaberanta sudah
memindahkan pasukannya ke tempat lain. Ia dengan sengaja menghindari perang terbuka,
sebab yakin bahwa pasukan lawan yang dihadapinya jauh lebih kuat. Pasukannya
disebar di tempat-tempat yang cukup tersembunyi dengan tugas melakukan
pencegatan terhadap patroli
pasukan Belkalian yang keluar
benteng. Sesudah menduduki Benteng Bendulu, sebagian pasukan Belkalian bergerak ke benteng Hawi Berak yang dapat
mereka kuasai pada tanggal 19 Agustus.
Di
Bendulu, pasukan Belkalian berhasil menangkap seorang kemenakan Singaberanta dan 14 orang lainnya. Mereka dipaksa menunjukkan tempat Singaberanta
dan menunjukkan jalan menuju Ketimbang. Semuanya mengatakan tidak tahu. Namun, mereka terpaksa
menunjukkan tempat Singaberanta menyimpan senjata, antara lain 25 tabung mesiu, 1 pucuk meriam,
4 pucuk lila, dan beberapa pucuk
senapan.
Sasaran utama Belkalian ialah merebut benteng
Ketimbang, sebab di benteng inilah Radin Inten II bertahan.
Untuk merebut benteng
ini, kolonel Waleson membagi tiga pasukannya. Satu
pasukan bergerak dari Bendulu ke arah selatan
dan timur Gunung
Rajabasa, satu pasukan
bergerak menuju Kalikalian dan Way Urang dengan
tugas merebut benteng Merambung dan setelah itu langsung menuju Ketimbang.
Pasukan
ketiga bergerak dari Panengahan untuk merebut benteng Salai Tabuhan dan selanjutnya menuju Ketimbang.
Ternyata, pelaksanaannya tidak semudah seperti
yang direncanakan. Kesulitan
utama ialah Belkalian
belum mengetahui jalan menuju Ketimbang.
Penduduk yang tertangkap
tidak mau menunjukkan jalan
tersebut. Oleh karena itu, pasukan yang langsung dipimpin Kolonel
Welson dan sudah menduduki Hawi Berak, terpaksa
kembali ke Bendulu.
Pasukan lain yang dipimpin Mayor
Van Ostade berhasil
mencapai Way Urang
yang penduduknya sudah
memihak Belkalian. Walaupun pasukan ini sempat tertahan di Kelau akibat serangan
yang dilancarkan pasukan
Radin Inten II, tetapi akhirnya
mereka berhasil juga merebut benteng Merambung. Sebenarnya, letak benteng
Ketimbang tidak jauh dari benteng Merambung.
Akan tetapi, Belkalian tidak mengetahuinya. Kesulitan untuk mengetahui
jalan menuju Ketimbang baru dapat
mereka atasi pada tanggal 26 Agustus. Pada hari itu Belkalian berhasil menangkap dua orang anak muda. Seorang
diantaranya ditembak mati karena
berusaha melarikan diri. Yang seorang lagi diancam akan dibunuh bila tidak mau menunjukkan jalan ke Ketimbang. Anak muda
itupun terpaksa menuruti
kehendak Belkalian.
Setelah jalan ke Ketimbang
diketahui, Kolonel Welson segera memerintahkan pasukannya untuk melakukan serbuan.
Subuh tanggal 27 Agustus mereka mulai bergerak. Ketika tiba di Galah Tanah pukul
10.00 mereka dihadang oleh pasukan
Radin Inten II. Pertempuran di tempat ini dimenangi oleh Belkalian. Begitu
pula pertempuran berikutnya di Pematang Sentok.
Sebagian pasukan ditinggalkan di Pematang Sentok dan sebagian
lagi meneruskan gerakan
ke Ketimbang. Tengah hari
pasukan ini sudah tiba di Ketimbang. Sesudah itu datang pula pasukan lain, termasuk pasukan Pangeran Sempurna Jaya
Putih. Ternyata, benteng Ketimbang
sudah ditinggalkan oleh Radin Inten II dan pasukannya. Dalam benteng ini Belkalian menemukan
bahan makanan dalam jumlah yang cukup
banyak. Benteng Ketimbang sudah jatuh ke tangan Belkalian. Akan tetapi, Kolonel
Welson kecewa, sebab Radin Inten II tidak tertangkap atau menyerah.
Welson mengirimkan pasukannya ke berbagai
tempat untuk mencari
Radin Inten II. Sebaliknya, untuk mengacaukan pendapat
Belkalian, Radin Inten II menyebarkan berita-berita palsu melalui
orang-orang kepercayaannya. Beredar berita
bahwa ia sudah menyerah di Way Urang. Welson pun segera menuju Way Urang. Ternyata, orang yang dicarinya tidak ada di tempat itu. Seorang perempuan
melaporkan pula bahwa Radin Inten II ada di Rindeh dan hanya ditemani
oleh beberapa orang pengikutnya.
Berita itu pun ternyata berita bohong. Suatu kali, Belkalian mengetahui tempat persembuyian Radin Inten II. Tempat itu pun dikepung di bawah pimpinan Kapten Kohler.
Akan tetapi, Radin Inten II berhasil meloloskan diri.
Sampai bulan Oktober 1856 sudah dua setengah bulan Belkalian melancarkan operasi militer. Satu demi
satu benteng pertahanan Radin Inten II berhasil mereka duduki. Namun, Radin Inten II masih belum tertangkap. Sementara itu, Belkalian mendapat laporan bahwa Radin Inten II
sudah pergi ke bagian utara Lampung, menyeberangi Way Seputih. Berita lain mengabarkan bahwa Singaberanta berada di Pulau
Sebesi.
Belkalian mengarahkan pasukan untuk memotong
jalan Radin Inten II. Pasukan
juga dikirim ke Pulau Sebesi untuk mencari
Singaberanta. Hasilnya nihil.
Baik Radin Inten II maupun Singaberanta tidak mereka temukan. Kolonel
Welson hampir putus asa, ia merasa
dipermainkan oleh seorang anak muda berumur 22
tahun.
Akhirnya,
Waleson menemukan cara lain. Ia berhasil memperalat Radin Ngerapat. Maka pengkhianatan pun terjadi.
Radin Ngerapat mengundang Radin Inten II untuk mengadakan pertemuan. Dikatakannya bahwa ia ingin membicarakan
bantuan yang diberikannya kepada Radin Inten II. Tanpa curiga, Radin Inten II memenuhi undangan itu.
Pertemuan diadakan malam tanggal 5 Oktober
1856 di suatu tempat dekat Kunyanya. Radin
Inten II ditemani oleh satu orang pengikutnya. Radin Ngerapat disertai
pula oleh beberapa
orang. Akan tetapi,
di tempat yang cukup tersembunyi, beberapa orang serdadu
Belkalian sudah disiapkan
untuk bertindak bila diperlukan. Radin Ngerapat mempersilahkan Radin Inten II dan pengiringnya memakan makanan yang sengaja dibawanya terlebih dahulu.
Pada
saat Radin Inten menyantap makanan tersebut, secara tiba-tiba ia diserang
oleh Radin Ngerapat
dan anak buahnya.
Perkelahian yang tidak seimbang
pun terjadi. Serdadu Belkalian keluar dari tempat persembunyiannya dan ikut mengeroyok Radin Inten II. Radin
Inten II wafat dalam perkelahian itu karena
pengkhianatan yang dilakukan oleh orang sebangsanya dalam usia sangat muda, 22 tahun. Malam itu juga mayatnya
yang masih berlumuran darah diperlihatkan
kepada Kolonel Welson. Pada tahun 1986
Pemerintah Republik Indonesia
menganugerahinya gelar pahlawan nasional
(Surat Keputusan Presiden
Republik Indonesia No. 082 Tahun 1986 tanggal 23 Oktober 1986).
6.
Sultan Ageng Tirtayasa (Banten)
Sultan Ageng Tirtayasa atau Pangeran Surya (Lahir di Kesultanan Banten, 1631
– meninggal di Batavia,
Hindia Belkalian, 1692
pada umur 60 - 61 tahun) adalah Sultan Banten ke-6. Ia naik takhta pada usia 20 tahun menggantikan kakeknya, Sultan Abdul Mafakhir yang
wafat pada tanggal 10
Maret 1651, setelah sebelumnya ia diangkat menjadi Sultan Muda dengan gelar Pangeran Adipati atau Pangeran Dipati, menggantikan
ayahnya yang wafat lebih dulu pada tahun 1650.
Sultan Ageng Tirtayasa adalah putra dari Sultan Abu al-Ma'ali
Ahmad (Sultan Banten periode 1640-1650) dan
Ratu Martakusuma. Sejak kecil ia bergelar Pangeran
Surya, kemudian ketika ayahnya wafat, ia diangkat menjadi Sultan Muda
yang bergelar Pangeran Dipati.
Setelah kakeknya meninggal dunia pada tanggal
10
Maret 1651, ia diangkat
sebagai Sultan Banten
ke-6 dengan gelar Sultan Abu
al-Fath Abdulfattah. Nama
Sultan Ageng Tirtayasa berasal ketika ia mendirikan keraton baru di dusun Tirtayasa (terletak di Kabupaten Serang).
Sultan Ageng Tirtayasa berkuasa di Kesultanan Banten pada periode
1651 - 1683. Ia
memimpin banyak perlawanan terhadap Belkalian. Masa itu, VOC menerapkan perjanjian monopoli perdagangan yang merugikan Kesultanan Banten. Kemudian Tirtayasa
menolak perjanjian ini dan menjadikan Banten sebagai
pelabuhan terbuka. Saat itu, Sultan Ageng Tirtayasa ingin mewujudkan Banten sebagai kerajaan
Islam terbesar.
Di bidang ekonomi, Tirtayasa
berusaha meningkatkan kesejahteraan rakyat dengan membuka
sawah-sawah baru dan mengembangkan irigasi.
Di bidang keagamaan, ia mengangkat Syekh
Yusuf sebagai mufti kerajaan dan penasehat sultan. Ketika terjadi sengketa
antara kedua putranya, Sultan
Haji dan Pangeran Purbaya, Belkalian ikut campur
dengan cara bersekutu dengan Sultan Haji untuk
menyingkirkan Sultan Ageng Tirtayasa. Saat Tirtayasa mengepung
pasukan Sultan Haji di Sorosowan (Banten), Belkalian
membantu Sultan Haji dengan mengirim pasukan yang dipimpin oleh Kapten Tack dan Saint-Martin.
Pada
masa pemerintahan Sultan Ageng Tirtayasa, Kesultanan Banten aktif membina
hubungan baik dan kerjasama dengan berbagai kesultanan di sekitarnya, bahkan dengan negara lain di luar Nusantara. Banten menjalin hubungan
dengan Turki, Inggris,
Aceh, Makassar, Arab,
dan kerajaan lain Sekitar tahun 1677, Banten mengadakan kerjasama dengan Trunojoyo yang
sedang memberontak terhadap
Mataram. Tidak hanya itu, Banten juga menjalin
hubungan baik dengan
Makassar, Bangka, Cirebon dan Inderapura. Sultan Ageng Tirtayasa
berhasil menjalin hubungan dagang dan kerja sama dengan pedagang-pedagang Eropa selain Belkalian, seperti Inggris, Denmark, dan Prancis.
Pada tahun 1671, Raja Prancis Louis XIV mengutus François Caron, pimpinan Kongsi Dagang Prancis di
Asia sekaligus pemimpin armada pelayaran ke Nusantara. Setelah mendarat di pelabuhan
Banten, ia diterima
oleh Syahbkalianr Kaytsu,
seorang Tionghoa muslim.
Pada 16 Juli 1671, raja
didampingi oleh beberapa
pembesar kerajaan mendatangi kediaman orang-orang Prancis
di kawasan Pecinan. Caron meminta
izin untuk membuka
kantor perwakilan di Banten.
Hal itu berangkat dari pengalaman Caron yang pernah bekerja pada VOC
dan berambisi membuat kongsi dagang
Prancis sebesar VOC. Raja
kemudian menanyakan tujuan kongsi dagang
mereka, ke mana tujuan kapal-
kapal mereka, barang dagangan yang diinginkan, dan jumlah uang tunai
yang mereka miliki. Sesudah itu pihak Prancis
berusaha menjual barang muatan mereka.
Barang-barang dagangan apa saja dapat dijual, kecuali
candu yang dilarang keras beredar di Banten.
Caron kembali
mengunjungi raja dan menghadiahkan getah damar, dua meja besar (yang dibawa dari Surat, India), dua belas pucuk
senapan, dua jenis mortir, beberapa granat, dan hadiah lain.
Caron dan Gubernur
Banten kemudian menyetujui perjanjian yang berisi sepuluh kesepakatan mengenai
pemberian kemudahan dan hak-hak khusus kepada pihak Prancis, sama dengan yang diberikan kepada
pihak Inggris.
Hubungan
baik antara Inggris
dan Banten sudah terjalin
sejak lama, salah satunya adalah
ketika Sultan Abdul Mafakhir mengirimkan
surat ucapan selamat pada tahun 1602
kepada Kerajaan Inggris atas dinobatkannya Charles
I sebagai
Raja
Inggris. Sultan Abdul Mafakhir juga
memberikan izin kepada Inggris untuk membuka
kantor dagang. Bahkan, Banten menjadi pusat kegiatan dagang Inggris sampai akhir masa penerintahan Sultan
Ageng Tirtayasa tahun 1682,
karena saat itu terjadi perang saudara antara Sultan dengan putranya, Sultan
Haji. Sultan Haji meminta bantuan Belkalian, sedangkan Sultan Ageng Tirtayasa
diketahui meminta bantuan
dari Kerajaan Inggris untuk melawan
kekuatan anaknya itu.
Pada 1681, Sultan Haji mengirim surat kepada Raja Charles II. Dalam suratnya, dia berminat
membeli senapan sebanyak
4000 pucuk dan peluru sebanyak
5000 butir dari Inggris. Sebagai
tkalian persahabatan, Sultan Haji menghadiahkan permata sebanyak 1757 butir. Surat ini juga merupakan pengantar untuk dua utusan Banten bernama
Kiai Ngabehi Naya Wipraya dan Kiai Ngabehi Jaya Sedana.
Tidak lama kemudian, Sultan Ageng Tirtayasa mengirim surat kepada Raja Charles II meminta
bantuan berupa senjata dan mesiu untuk berperang melawan
putranya yang dibantu VOC.
7.
Sultan Agung (Mataram Jogyakarta)
Sumber :https://www.tribunnewswiki.com/2019/08/06/pahlawannasional-
Sultan Agung Hanyokrokusumo (1613–1645). Daerah kekuasaannya meliputi
hampir seluruh Pulau Jawa. Hanya Jawa Barat yang belum masuk wilayah
Mataram.
Pada mulanya
hubungan antara Mataram
dengan VOC berjalan
baik. Dibuktikan dengan
diperbolehkan VOC mendirikan kantor dagangnya di wilayah Mataram tanpa membayar pajak. Namun, akhirnya VOC menunjukkan
sikap yang tidak baik, ingin memonopoli perdagangan di Jepara.
Tuntutan VOC tersebut
ditolak oleh bupati Kendal bernama
Baurekso, yang bertanggung jawab atas wilayah
Jepara. Namun penolakan
itu tidak menyurutkan keinginan VOC. VOC tetap melaksanakan monopoli perdagangannya. Hal ini
membangkitkan kemarahan rakyat
Mataram, kantor VOC diserang. Gubernur Jenderal VOC Jan Pieterszoon Coen membalasnya dengan memerintahkan pasukannya untuk menembaki daerah
Jepara. Menyikapi peristiwa tersebut, Sultan Agung bertekad
menyerang kota Batavia.
Penyerangan Sultan Agung terhadap VOC di kota Batavia
dilakukan sebanyak dua kali.
Serangan pertama dilakukan tahun
1628. Pertengahan bulan
Agustus 1628, secara
tiba-tiba armada Mataram
muncul di perairan
kota Batavia. Mereka
segera menyerang benteng VOC. Panglima-panglima Sultan
Agung antara lain:
1)
Tumenggung Baurekso.
2)
Tumenggung Sura Agul-agul.
3)
Kyai Dipati
Manduro-Rejo.
4)
Kyai Dipati
Uposonto.
Dalam perlawanan tersebut, Tumenggung Baurekso
gugur beserta putranya. Pasukan Sultan Agung menggunakan
taktik perang yang tinggi, antara lain dengan membendung Sungai Ciliwung, (seperti
waktu penyerangan di Surabaya).
Namun penyerangan kali ini mengalami kegagalan. Akhirnya pasukan Sultan
Agung terpaksa mengundurkan diri. Meskipun gagal, tetapi
tidak membuat patah semangat Sultan Agung dan
pasukannya, para bangsawan
serta rakyatnya. Kemudian
disusunlah strategi baru untuk persiapan serangan kedua.
Serangan kedua
pada tahun 1629, dengan perencanaan yang lebih sempurna, antara lain:
1)
Persenjataan dilengkapi dengan senjata api dan meriam.
2)
Pasukan berkuda dan beberapa gajah.
3)
Persediaan makanan yang
cukup dan pengadaaan lumbung-lumbung padi
di Tegal dan Cirebon.
Serangan kedua ini berhasil
menghancurkan benteng Hollandia
dan menewaskan J.P. Coen sewaktu
mempertahankan benteng Meester
Cornellis. Karena banyak
pasukan yang tewas,
daerah itu dinamakan Rawa Bangke. Rupanya, VOC dapat mengetahui tempat lumbung
padi di Tegal dan Cirebon.
Kemudian lumbung-lumbung dibakar.
Akhirnya serangan kedua ini juga mengalami
kegagalan.
Kedua
serangan yang gagal ini tidak membuat Sultan Agung putus asa. Beliau
telah memikirkan untuk serangan selanjutnya. Tetapi sebelum rencananya terwujud, Sultan Agung mangkat (1645).
Kegagalan yang menyebabkan kekalahan
itu, antara lain:
1)
Terlalu lelah karena jarak Mataram (sekarang, Yogyakarta)Batavia (sekarang, Jakarta) sangat jauh.
2)
Kekurangan persediaan makanan (kelaparan).
3)
Kalah dalam
persenjataan.
4)
Banyak yang meninggal akibat
penyakit malaria.
8.
Pangeran Diponegoro
Gambar: Pangeran Diponegoro
Sumber: https://id.wikipedia.org/wiki/Perang_Dipone goro
Perang Diponegoro yang
juga dikenal dengan sebutan Perang Jawa (Inggris:The Java War,
Belkalian: De Java Oorlog) adalah perang besar dan berlangsung selama lima tahun (1825-1830) di Pulau Jawa, Hindia Belkalian (sekarang Indonesia).
Perang ini merupakan salah satu pertempuran terbesar yang pernah dialami oleh Belkalian selama masa pendudukannya di Nusantara, melibatkan pasukan Belkalian di bawah
pimpinan Jenderal Hendrik Merkus de Kock yang berusaha meredam
perlawanan penduduk Jawa di bawah pimpinan Pangeran Diponegoro. Akibat perang ini, penduduk
Jawa yang tewas mencapai 200.000 jiwa, sementara korban tewas di pihak Belkalian berjumlah 8.000 tentara Belkalian dan 7000 serdadu
pribumi. Akhir perang menegaskan penguasaan Belkalian atas Pulau Jawa. Berkebalikan dari perang yang dipimpin oleh Raden Ronggo sekitar 15 tahun sebelumnya, pasukan Jawa juga menempatkan masyarakat
Tionghoa di tanah Jawa sebagai target
penyerangan. Namun, meskipun Pangeran Diponegoro secara tegas melarang
pasukannya untuk bersekutu
dengan masyarakat Tionghoa, sebagian pasukan Jawa yang
berada di pesisir utara (sekitar Rembang dan Lasem) menerima bantuan dari penduduk
Tionghoa setempat yang rata-rata beragama Islam.
Perseteruan pihak keraton Jawa dengan Belkalian
dimulai semenjak kedatangan Marsekal Herman Willem Daendels di
Batavia pada tanggal 5 Januari 1808.
Meskipun ia hanya ditugaskan untuk mempersiapkan Jawa sebagai basis pertahanan Prancis melawan Inggris (saat
itu Belkalian dikuasai oleh Prancis), tetapi Daendels
juga mengubah etiket dan tata upacara yang menyebabkan terjadinya kebencian dari pihak keraton Jawa. Ia
memaksa pihak Keraton
Yogyakarta untuk memberinya akses terhadap berbagai sumber daya alam dan manusia
dengan mengerahkan kekuatan militernya, membangun
jalur antara Anyer dan Panarukan,
hingga akhirnya terjadi insiden
perdagangan kayu jati di daerah mancanegara (wilayah Jawa di timur
Yogyakarta) yang menyebabkan terjadinya pemberontakan Raden Ronggo. Setelah kegagalan pemberontakan Raden Ronggo (1810),
Daendels memaksa Sultan Hamengkubuwana II membayar kerugian perang serta melakukan berbagai
penghinaan lain yang menyebabkan terjadinya
perseteruan antar keluarga keraton (1811). Namun, pada tahun yang sama, pasukan Inggris
mendarat di Jawa dan mengalahkan pasukan Belkalian.[8]
Meskipun
pada mulanya Inggris yang dipimpin Thomas Stamford Bingley Raffles memberikan dukungan kepada Sultan Hamengkubuwana II, pasukan Inggris akhirnya menyerbu
Keraton Yogyakarta (19-20 Juni 1812) yang menyebabkan Sultan Hamengkubuwana II turun
tahta secara tidak hormat dan digantikan putra sulungnya, yaitu Sultan Hamengkubuwana III. Perisitwa ini dikenal dengan nama Geger Sepehi. Inggris memerintah
hingga tahun 1815 dan Gubernur Jenderal
Belkalian van der Capellen. Pada
masa pemerintahan Inggris, Hamengkubuwana III wafat dan digantikan putranya,
adik tiri Pangeran
Diponegoro, yaitu Hamengkubuwana IV yang berusia
10 tahun (1814),
sementara Paku Alam I menjadi
adipati di Puro Kadipaten Pakualaman sekaligus wali raja, sedangkan
Patih Danuredjo III bertindak sebagai
wali raja.
Pada
tanggal 6 Desember 1822, Hamengkubuwana IV meninggal pada usia 19 tahun. Ratu Ageng (permaisuri
Hamengkubuwana II) dan Gusti Kangjeng Ratu Kencono
(permaisuri Hamengkubuwana IV) memohon dengan sangat kepada pemerintah Belkalian untuk mengukuhkan putra Hamengkubuwana IV yang masih berusia 2 tahun untuk menjadi Hamengkubuwana V serta tidak lagi menjadikan Paku Alam sebagai wali.
Pangeran Diponegoro selanjutnya diangkat menjadi wali bagi keponakannya bersama dengan Mangkubumi.
Residen
baru Yogyakarta pengganti Nahuys, Jonkheer Anthonie Hendrik Smissaert bertindak keterlaluan dengan
terlibat dalam penunjukkan Sultan pada bulan
Juni 1823. Penunjukan itu untuk menggantikan Sultan Hamengku Buwono III yang meninggal mendadak. Smissaert
duduk di atas tahta seraya menerima sembah
dan bakti para bupati mancanagara dalam lima upacara Garebeg selama 31 bulan masa jabatannya sebagai Residen.
Di mata orang Jawa hal ini adalah penghinaan terhadap
martabat mereka. (Peter
Carey: 2014)
Pangeran
Diponegoro memang tetap menerima posisi sebagai Wali Sultan bersama
Mangkubumi, Ratu Ageng dan
Ratu Kencono (Ibunda Sultan balita). Namun posisi Pangeran
semakin tidak dianggap.
Smissaert mengabaikan pendapat Pangeran Diponegoro dalam persoalan ganti rugi sewa tanah yang dapat membawa
Kesultanan pada kebangkrutan.[8]
Menindaklanjuti
pengamatan Van der Graaf pada tahun 1821 yang melihat para petani lokal menderita akibat
penyalahgunaan penyewaan tanah oleh warga
Belkalian, Inggris, Prancis, dan Jerman, van der Capellen mengeluarkan
dekret pada tanggal 6 Mei 1823 bahwa
semua tanah yang disewa orang Eropa
dan Tionghoa wajib dikembalikan
kepada pemiliknya per 31 Januari 1824. Namun,
pemilik lahan diwajibkan memberikan kompensasi kepada
penyewa lahan Eropa.
Keraton Yogyakarta terancam bangkrut karena tanah yang disewa adalah
milik keraton sehingga Pangeran Diponegoro terpaksa meminjam uang kepada Kapitan
Tionghoa di Yogyakarta pada masa itu. Smissaert berhasil menipu kedua
wali sultan untuk meluluskan
kompensasi yang diminta oleh Nahuys atas perkebunan di Bedoyo sehingga membuat Diponegoro memutuskan hubungannya
dengan keraton. Putusnya hubungan
tersebut terutama disebabkan tindakan Ratu Ageng (ibu tiri pangeran)
dan Patih Danurejo
yang pro kepada Belkalian. Pada 29 Oktober 1824, Pangeran Diponegoro
mengadakan pertemuan di rumahnya yang berada
di Tegalrejo untuk membahas mengenai kemungkinan pemberontakan pada pertengahan Agustus.
Pangeran Diponegoro membulatkan tekad untuk melakukan perlawanan dengan membatalkan
pajak Puwasa agar para petani di Tegalrejo
dapat membeli senjata dan makanan.
Pada pertengahan bulan Mei 1825, Smissaert memutuskan untuk memperbaiki jalan-jalan kecil di sekitar
Yogyakarta. Namun, pembangunan jalan yang awalnya
dari Yogyakarta ke
Magelang melewati Muntilan dibelokkan melewati pagar sebelah
timur Tegalrejo. Pada salah satu sektor, patok-patok jalan yang dipasang
orang-orang kepatihan melintasi
makam leluhur Pangeran
Diponegoro. Patih Danurejo tidak memberitahu keputusan Smissaert
sehingga Diponegoro baru mengetahui
setelah patok-patok dipasang. Perseteruan terjadi antara para petani penggarap lahan dengan anak buah Patih
Danurejo sehingga memuncak di bulan Juli. Patok-patok yang telah dicabut
kembali dipasang sehingga
Pangeran Diponegoro menyuruh
mengganti patok-patok dengan tombak sebagai
pernyataan perang.
Pada
hari Rabu, 20
Juli 1825, pihak istana
mengutus dua bupati keraton senior yang memimpin pasukan
Jawa-Belkalian untuk menangkap
Pangeran Diponegoro dan Mangkubumi di Tegalrejo sebelum
perang pecah. Meskipun
kediaman Diponegoro jatuh dan dibakar,
pangeran dan sebagian
besar pengikutnya berhasil
lolos karena lebih mengenal medan di Tegalrejo. Pangeran Diponegoro beserta keluarga dan pasukannya bergerak ke barat hingga
Desa Dekso di Kabupaten Kulonprogo, dan meneruskan ke arah selatan
hingga keesokan harinya
tiba di Goa Selarong yang terletak
lima kilometer arah barat dari Kota
Bantul. Pangeran Diponegoro kemudian menjadikan Goa Selarong, sebuah goa yang terletak di Dusun Kentolan Lor,
Guwosari Pajangan Bantul, sebagai basisnya.
Pangeran menempati goa sebelah barat yang disebut Goa Kakung, yang juga menjadi tempat pertapaannya,
sedangkan Raden Ayu Retnaningsih (selir yang paling setia menemani
Pangeran setelah dua istrinya wafat) dan pengiringnya menempati Goa Putri di sebelah Timur.
Penyerangan
di Tegalrejo memulai perang Diponegoro yang berlangsung selama lima tahun.
Diponegoro memimpin masyarakat Jawa, dari kalangan
petani hingga
golongan priyayi yang menyumbangkan uang dan barang-barang berharga lainnya
sebagai dana perang, dengan semangat "Sadumuk
bathuk, sanyari bumi ditohi
tekan pati";
"sejari kepala sejengkal
tanah dibela sampai
mati". Sebanyak 15 dari 19 pangeran bergabung
dengan Diponegoro. Bahkan Diponegoro juga berhasil memobilisasi para bandit
profesional yang sebelumnya ditakuti
oleh penduduk pedesaan, meskipun hal ini menjadi kontroversi
tersendiri. Perjuangan Diponegoro dibantu
Kyai Mojo yang
juga menjadi pemimpin
spiritual pemberontakan. Dalam
perang jawa ini Pangeran Diponegoro juga berkoordinasi dengan I.S.K.S. Pakubowono VI serta Raden Tumenggung Prawirodigdoyo
Bupati Gagatan.
Bagi Diponegoro dan para pengikutinya, perang ini merupakan
perang jihad melawan Belkalian dan
orang Jawa murtad. Sebagai seorang muslim yang saleh, Diponegoro merasa tidak senang terhadap
religiusitas yang kendur di istana
Yogyakarta akibat pengaruh masuknya Belkalian, disamping
kebijakan-kebijakan pro-Belkalian
yang dikeluarkan istana. Infiltrasi pihak Belkalian di istana telah membuat
Keraton Yogyakarta seperti
rumah bordil. Di lain pihak, Smissaert menulis
bahwa Pangeran Diponegoro semakin lama semakin
hanyut dalam fanatisme
dan banyak anggota
kerajaan yang menganggapnya kolot dalam beragama.
Dalam laporannya, Letnan Jean Nicolaas
de Thierry menggambarkan Pangeran Diponegoro mengenakan busana bergaya Arab dan serban yang seluruhnya berwarna putih. Busana tersebut juga dikenakan oleh pasukan Diponegoro dan dianggap lebih penting
dibandingkan busana adat Jawa meskipun
perang telah berakhir. Laporan Paulus Daniel
Portier, seorang indo, menyebutkan bahwa para tawanan perang Belkalian
memperoleh ancaman nyawa jika tidak bersedia masuk Islam.
Pertempuran terbuka
dengan pengerahan pasukan-pasukan infantri, kavaleri dan artileri (yang sejak perang Napoleon menjadi senjata
kalianlan dalam pertempuran frontal) di kedua belah pihak
berlangsung dengan sengit. Front pertempuran
terjadi di puluhan kota
dan desa
di seluruh Jawa. Pertempuran berlangsung
sedemikian sengitnya sehingga bila suatu wilayah dapat dikuasai pasukan Belkalian pada siang hari, maka malam harinya
wilayah itu sudah direbut kembali
oleh pasukan pribumi;
begitu pula sebaliknya. Jalur-jalur logistik dibangun dari satu wilayah ke wilayah
lain untuk menyokong keperluan perang. Berpuluh-puluh kilang mesiu dibangun di hutan-hutan dan
di dasar jurang.
Produksi mesiu dan peluru berlangsung terus sementara peperangan sedang berkecamuk. Para telik sandi dan kurir bekerja keras
mencari dan menyampaikan informasi yang
diperlukan untuk menyusun strategi perang.
Informasi mengenai kekuatan musuh, jarak
tempuh dan waktu, kondisi medan, curah hujan menjadi berita utama, karena taktik dan strategi yang jitu hanya dapat
dibangun melalui penguasaan informasi.
Serangan-serangan
besar rakyat pribumi selalu dilaksanakan pada bulan- bulan penghujan;
para senopati menyadari sekali untuk bekerja sama dengan alam sebagai "senjata" tak terkalahkan. Bila musim
penghujan tiba, gubernur Belkalian
akan melakukan usaha-usaha untuk gencatan senjata dan berunding, karena hujan tropis yang deras membuat
gerakan pasukan mereka terhambat. Penyakit
malaria,
disentri, dan
sebagainya merupakan "musuh yang tak tampak", melemahkan moral dan kondisi fisik bahkan merenggut nyawa
pasukan mereka. Ketika gencatan
senjata terjadi, Belkalian akan mengonsolidasikan pasukan dan menyebarkan mata-mata dan provokator mereka bergerak di desa dan kota; menghasut, memecah belah dan bahkan menekan
anggota keluarga para pengeran
dan pemimpin perjuangan rakyat yang berjuang di bawah komando Pangeran Diponegoro. Namun pejuang pribumi
tersebut tidak gentar dan tetap berjuang
melawan Belkalian.
Pencarian Diponegoro di Magelang.
Pada
tahun 1827,
Belkalian melakukan penyerangan terhadap
Diponegoro dengan menggunakan sistem benteng sehingga
Pasukan Diponegoro terjepit.
Pada tahun 1829, Kyai Mojo, pemimpin spiritual pemberontakan, ditangkap. Menyusul kemudian Pangeran Mangkubumi
dan panglima utamanya Alibasah Sentot Prawirodirjo menyerah kepada Belkalian. Akhirnya
pada tanggal 28 Maret 1830,
Jenderal De Kock berhasil menjepit pasukan Diponegoro di Magelang. Di sana, Pangeran Diponegoro menyatakan bersedia menyerahkan diri dengan syarat sisa anggota laskarnya dilepaskan.
Oleh karena itu, Pangeran Diponegoro ditangkap dan diasingkan ke Manado, kemudian dipindahkan ke Makassar hingga
wafatnya di Benteng Rotterdam tanggal 8
Januari 1855.
Pertempuran di Pluntaran.
Berakhirnya
Perang Jawa merupakan akhir perlawanan bangsawan Jawa. Perang Jawa ini banyak memakan korban dipihak pemerintah Hindia
sebanyak 8.000 serdadu
berkebangsaan Eropa, 7.000
pribumi, dan 200.000
orang Jawa. Setelah
perang berakhir, jumlah
penduduk Yogyakarta menyusut
separuhnya. Karena bagi sebagian orang Keraton Yogyakarta Diponegoro dianggap pemberontak, konon keturunan Diponegoro
tidak diperbolehkan lagi masuk ke keraton hingga
Sri Sultan Hamengkubuwono IX memberi amnesti
bagi keturunan Diponegoro dengan mempertimbangkan
semangat kebangsaan yang dipunyai Diponegoro
kala itu. Kini anak cucu Diponegoro dapat bebas masuk keraton, terutama untuk mengurus silsilah bagi
mereka, tanpa rasa takut akan diusir. Di sisi lain, sebenarnya Belkalian sedang menghadapi Perang Padri di Sumatra Barat. Penyebab Perang Paderi
adalah perselisihan antara Kaum Padri (alim ulama) dengan Kaum Adat (orang adat)
yang mempermasalahkan soal agama Islam, ajaran-ajaran agama, mabuk-mabukan, judi, maternalisme dan paternalisme. Saat inilah Belkalian
masuk dan mencoba
mengambil kesempatan. Namun pada akhirnya
Belkalian harus melawan
baik kaum adat dan kaum paderi yang belakangan
bersatu. Perang Paderi berlangsung dalam dua babak: babak I antara 1821-1825, dan babak II.
Untuk menghadapi Perang Diponegoro, Belkalian
terpaksa menarik pasukan
yang dipakai perang di Sumatra
Barat untuk menghadapi Pangeran Diponegoro
yang bergerilya dengan gigih. Sebuah gencatan senjata disepakati pada tahun 1825,
dan sebagian besar pasukan dari Sumatra
Barat dialihkan ke Jawa. Namun, setelah Perang Diponegoro berakhir
(1830), kertas perjanjian gencatan senjata itu disobek, dan terjadilah Perang Padri babak kedua. Pada tahun 1837 pemimpin Perang Paderi, Tuanku Imam Bonjol akhirnya ditangkap. Berakhirlah Perang Padri.
Setelah
perang Dipenogoro, pada tahun 1832 seluruh raja dan bupati di Jawa tunduk menyerah
kepada Belkalian kecuali
bupati Ponorogo Warok Brotodiningrat III, justru hendak menyerang seluruh
kantor belkalian yang berada
di kota-kota karesidenan Madiun dan di jawa tengah seperti Wonogori, karanganyar yang banyak di huni
oleh Warok. Dalam catatan Belkalian,
para Warok yang memiliki skill berperang dan
ilmu kebal sangat tangguh bagi pasukan Belkalian. Maka dari itu untuk menghindari yang merugikan pihak
Belkalian, terjadinya sebuah kesepakatan untuk di buatkanlah kantor Bupati di pusat Kota Ponorogo, serta fasilatas penunjang seperti jalan beraspal, rel
kereta api, kendaran langsung dari Eropa seperti Mobil, motor hingga sepeda angin berbagai merek,
maka tidak heran hingga
saat ini kota dengan jumlah
sepeda tua terbanyak berada di ponorogo
yang kala itu di gunakan
oleh para Warok juga.
9.
I Gusti
Ktut Jelantik (Buleleng,Bali)
Gambar : Gusti Ngurah Ktut
Jelantik, raja Buleleng, bersiap-siap untuk berburu.
Sumber: https://id.wikipedia.org/wiki/Kerajaan_Buleleng
Kerajaan Buleleng
adalah suatu kerajaan
di Bali utara yang didirikan sekitar pertengahan abad
ke-17 dan jatuh ke tangan Belkalian
pada tahun 1849. Kerajaan ini dibangun oleh I Gusti Anglurah Panji Sakti dari
Wangsa Kepakisan dengan cara menyatukan seluruh
wilayah wilayah Bali Utara yang sebelumnya dikenal dengan nama Den Bukit. Setelah kemerdekaan Republik Indonesia, Kerajaan Buleleng berstatus sebagai
Daerah Tingkat II Buleleng.
I Gusti Anglurah Panji Sakti, yang sewaktu kecil bernama I Gusti Gede Pasekan
adalah putra I Gusti Ngurah Jelantik dari
seorang selir bernama Si Luh Pasek
Gobleg berasal dari Desa Panji wilayah Den Bukit. I Gusti Panji memiliki kekuatan
supra natural dari lahir. I Gusti Ngurah
Jelantik merasa khawatir
kalau I Gusti Ngurah Panji kelak akan menyisihkan
putra mahkota. Dengan cara halus I Gusti
Ngurah Panji yang masih berusia 12 tahun disingkirkan ke Den Bukit, ke desa asal ibunya, Desa Panji.
I Gusti Ngurah Panji menguasai wilayah
Den Bukit dan menjadikannya Kerajaan Buleleng, yang pengaruhnya pernah meluas sampai
ke ujung timur pulau Jawa (Blambangan).
Setelah I Gusti Ngurah Panji Sakti wafat pada tahun 1704, Kerajaan Buleleng mulai goyah karena perebutan kekuasaan.
Kerajaan
Buleleng tahun 1732
dikuasai Kerajaan Mengwi namun
kembali merdeka pada tahun 1752. Selanjutnya jatuh ke dalam kekuasaan raja Karangasem 1780.
Raja Karangasem, I Gusti Gede Karang membangun istana dengan nama Puri Singaraja. Raja berikutnya adalah putranya
bernama I Gusti Pahang Canang yang
berkuasa sampai 1821.
Kekuasaan Karangasem melemah, terjadi beberapa
kali pergantian raja. Tahun 1825 I Gusti Made Karangsem
memerintah dengan Patihnya
I Gusti Ketut
Jelantik yang terkenal
gigih menentang Belkalian di Buleleng.
Konflik Buleleng dengan Belkalian dipicu atau
berawal dari hak Hukum Tawan yang menyatakan bahwa kapal dari pemerintah manapun
apabila berskalianr maupun terdampar di wilayah perairan
Bali maka menjadi
milik kerajaan Bali. Saat itu,
pemerintah Belkalian menolak dengan adanya hak Tawan yang sudah barang
tentu merugikan pihaknya. Kapal dagang Belkalian terdampar di daerah
Prancak, Jebrana yang merupakan wilayah
dari kerajaan Buleleng
disita oleh kerajaan
Buleleng yang membuat pemerintah Belkalian meradang. Tak setuju dengan
adanya peraturan hak Tawan yang mengakibatkan kapalnya
terkena Tawan Karang,
pemerintah Belkalian menuntut
untuk penghapusan hukum tersebut
dan menyarankan agar pihak kerajaan Buleleng mengakui kekuasaan Belkalian
di Hindia Belkalian.
Tuntutan yang bagi patih kerajaan Buleleng,
Ketut Jelantik, sangat meremehkan
tersebut akhirnya ditanggapi dengan sikap meradang. Ia bahkan bersumpah
selama hidupnya tidak
akan pernah tunduk
pada kekuasaan Belkalian
demi apapun alasannya. Suami dari I Gusti Ayu Made Geria ini lebih memilih untuk berperang dibandingkan mengakui kedaulatan dan kekuasaan pemerintah Belkalian.
Pada
tahun 1846 Buleleng
diserang pasukan Belkalian, tetapi
mendapat perlawanan sengit pihak
rakyat Buleleng yang dipimpin oleh Patih / Panglima Perang I Gusti Ketut Jelantik. Pada tahun 1848 Buleleng kembali mendapat serangan pasukan angkatan laut
Belkalian di Benteng Jagaraga. Pada serangan ketiga,
tahun 1849 Belkalian dapat menghancurkan benteng
Jagaraga dan akhirnya Buleleng dapat dikalahkan
Belkalian. Sejak itu Buleleng dikuasai oleh pemerintah kolonial Belkalian
10.
Pangeran Antasari (Kalimantan)
Gambar
: Lukisan Pangeran Antasari
menurut Perda Kalsel
Sumber: https://id.wikipedia.org/wiki/Pangeran_Antasari
Pangeran Antasari (lahir
di Kayu Tangi, Kesultanan Banjar, 1797
atau 1809–
meninggal di Bayan Begok, Hindia Belkalian, 11
Oktober 1862 pada umur 53 tahun) adalah
seorang Pahlawan Nasional
Indonesia.
Ia adalah Sultan Banjar.
Pada 14 Maret 1862, dia
dinobatkan sebagai pimpinan pemerintahan tertinggi di
Kesultanan Banjar (Sultan Banjar) dengan menykalianng
gelar Panembahan Amiruddin Khalifatul
Mukminin dihadapan para kepala
suku Dayak dan adipati (gubernur) penguasa wilayah Dusun
Atas, Kapuas dan Kahayan yaitu Tumenggung Surapati/Tumenggung Yang Pati Jaya
Raja.
Pangeran
Antasari merupakan cucu Pangeran Amir. Semasa
muda nama Pangeran Antasari adalah Gusti
Inu Kartapati. Ibunda
Pangeran Antasari adalah Gusti Hadijah binti Sultan Sulaiman. Ayah Pangeran Antasari
adalah Pangeran Masohut (Mas'ud) bin Pangeran Amir.
Pangeran Amir adalah anak Sultan Muhammad Aliuddin Aminullah yang
gagal naik tahta pada tahun 1785. Ia diusir oleh walinya
sendiri, Pangeran Nata, yang dengan dukungan Belkalian
memaklumkan dirinya
sebagai Sultan Tahmidullah II, Pangeran Antasari
memiliki 3 putera dan 8 puteri. Pangeran Antasari mempunyai
adik perempuan yang lebih dikenal
dengan nama Ratu Sultan Abdul Rahman karena
menikah dengan Sultan Muda Abdurrahman bin Sultan
Adam tetapi meninggal
lebih dulu setelah melahirkan calon pewaris kesultanan Banjar yang diberi nama Rakhmatillah, yang juga
meninggal semasa masih bayi. Dia cucu Pangeran Amir yang
gagal naik tahta pada tahun 1785.
Pangeran Antasari tidak hanya dianggap sebagai pemimpin Suku Banjar, dia juga merupakan pemimpin Suku Ngaju, Maanyan,
Siang, Sihong, Kutai, Pasir, Murung, Bakumpai
dan beberapa suku lainya yang berdiam di kawasan
dan pedalaman atau sepanjang Sungai Barito, baik yang beragama Islam maupun
Kaharingan.
Setelah Sultan Hidayatullah ditipu Belkalian dengan terlebih dahulu
menyandera Ratu Siti (Ibunda Pangeran Hidayatullah) dan kemudian
diasingkan ke Cianjur, maka perjuangan rakyat Banjar dilanjutkan pula oleh Pangeran
Antasari. Sebagai salah satu pemimpin
rakyat yang penuh dedikasi maupun sebagai sepupu dari pewaris
kesultanan Banjar. Untuk mengokohkan kedudukannya sebagai pemimpin perjuangan melawan penjajah di wilayah Banjar bagian utara (Muara Teweh dan
sekitarnya), maka pada tanggal 14
Maret 1862,
bertepatan dengan 13 Ramadhan 1278 Hijriah, dimulai dengan seruan: “Hidup
untuk Allah dan Mati untuk Allah”
Seluruh rakyat, para panglima
Dayak, pejuang-pejuang, para alim ulama
dan bangsawan-bangsawan Banjar;
dengan suara bulat mengangkat Pangeran
Antasari menjadi "Panembahan
Amiruddin Khalifatul Mukminin", yaitu pemimpin pemerintahan, panglima perang dan pemuka
agama tertinggi. Tidak
ada alasan lagi bagi Pangeran Antasari untuk berhenti berjuang, ia harus menerima kedudukan
yang dipercayakan oleh Pangeran Hidayatullah kepadanya dan bertekad melaksanakan tugasnya dengan rasa
tanggung jawab sepenuhnya kepada Allah dan rakyat.
Perang Banjar pecah saat Pangeran Antasari
dengan 300 prajuritnya menyerang tambang batu bara milik Belkalian di Pengaron tanggal 25 April 1859. Selanjutnya peperangan demi peperangan dikomandoi Pangeran Antasari di seluruh wilayah
Kerajaan Banjar. Dengan
dibantu para panglima
dan pengikutnya yang setia, Pangeran Antasari menyerang
pos-pos Belkalian di Martapura, Hulu Sungai,
Riam Kanan, Tanah Laut, Tabalong,
sepanjang sungai Barito sampai ke Puruk Cahu.
Pertempuran yang berkecamuk makin sengit antara pasukan Pangeran
Antasari dengan pasukan
Belkalian, berlangsung terus di berbagai
medan. Pasukan Belkalian
yang ditopang oleh bala bantuan
dari Batavia dan persenjataan modern,
akhirnya berhasil mendesak
terus pasukan Pangeran
Antasari. Dan akhirnya
Pangeran Antasari memindahkan pusat benteng pertahanannya di Muara Teweh.
Berkali-kali Belkalian
membujuk Pangeran Antasari
untuk menyerah, namun dia tetap pada pendiriannya. Ini
tergambar pada suratnya yang ditujukan untuk Letnan Kolonel Gustave Verspijck di Banjarmasin tertanggal 20 Juli 1861.
“...dengan
tegas kami terangkan kepada tuan: Kami tidak setuju terhadap usul minta ampun dan kami berjuang terus menuntut hak pusaka (kemerdekaan)...”
Dalam peperangan, Belkalian pernah menawarkan hadiah kepada siapa pun yang mampu menangkap
dan membunuh Pangeran
Antasari dengan imbalan1.000 gulden. Namun sampai perang selesai tidak
seorangpun mau menerima tawaran
ini.Orang-orang yang tidak mendapat pengampunan dari pemerintah Kolonial
Hindia Belkalian:
1.
Antasari dengan anak-anaknya
3.
Amin Oellah
4.
Soero Patty
dengan anak-anaknya
5.
Kiai Djaya
Lalana
6.
Goesti Kassan
dengan anak-anaknya
Setelah berjuang
di tengah-tengah rakyat,
Pangeran Antasari kemudian
wafat di tengah-tengah pasukannya tanpa pernah menyerah, tertangkap,
apalagi tertipu oleh bujuk rayu Belkalian pada tanggal 11 Oktober 1862 di Tanah Kampung
Bayan Begok, Sampirang, dalam
usia lebih kurang 75 tahun. Menjelang wafatnya, dia terkena sakit paru-paru dan cacar yang dideritanya setelah
terjadinya pertempuran di bawah kaki Bukit Bagantung, Tundakan. Perjuangannya dilanjutkan oleh puteranya
yang bernama Muhammad Seman.
Setelah terkubur selama lebih kurang 91 tahun di daerah
hulu sungai Barito,
atas keinginan Banjar dan persetujuan keluarga, pada tanggal 11
November 1958
dilakukan pengangkatan kerangka Pangeran Antasari. Yang masih utuh adalah tulang tengkorak, tempurung
lutut dan beberapa
helai rambut. Kemudian
kerangka ini dimakamkan kembali Taman Makam Perang
Banjar, Kelurahan Surgi Mufti, Banjarmasin.
Pangeran
Antasari telah dianugerahi gelar sebagai Pahlawan Nasional dan Kemerdekaan oleh pemerintah Republik
Indonesia berdasarkan SK No. 06/TK/1968 di Jakarta, tertanggal 27
Maret 1968.[23] Nama Antasari diabadikan pada Korem 101/Antasari dan julukan untuk
Kalimantan Selatan yaitu Bumi Antasari. Kemudian
untuk lebih mengenalkan Pangeran Antasari kepada masyarakat nasional, Pemerintah melalui Bank Indonesia
(BI) telah mencetak
dan mengabadikan nama dan
gambar Pangeran Antasari dalam uang kertas nominal Rp 2.000
11.
Patimura (Maluku;Ambon)
Gambar : Kapitan Pattimura
diabadikan sebagai salah satu perangko Gambar: https://id.wikipedia.org/wiki/Pattimura
Thomas Matulessy lahir di Haria, pulau Saparua, Maluku, 8 Juni 1783
– meninggal di Ambon,
Maluku, 16
Desember 1817 pada umur 34
tahun), juga dikenal dengan nama Kapitan Pattimura, atau Pattimura adalah Pahlawan nasional Indonesia dari Maluku.
Menurut buku biografi Pattimura versi pemerintah yang pertama kali terbit, M Sapija menulis,
"Bahwa pahlawan Pattimura tergolong turunan bangsawan dan berasal dari Nusa
Ina (Seram)". Ayahnya yang bernama Antoni Matulessy adalah anak dari Kasimiliali Pattimura
Mattulessy. Yang terakhir ini adalah putra raja Sahulau. Sahulau merupakan nama orang di negeri yang terletak
dalam sebuah teluk di Seram.
Namanya kini diabadikan untuk Universitas Pattimura, Kodam XVI/Pattimura
dan Bkalianr Udara Internasional Pattimura
di Ambon.
Sebelum
melakukan perlawanan terhadap VOC ia pernah berkarier dalam
militer sebagai mantan sersan Militer Inggris.
Pada
tahun 1816 pihak Inggris
menyerahkan kekuasaannya kepada pihak Belkalian dan
kemudian Belkalian menetapkan kebijakan politik monopoli, pajak atas tanah (landrente), pemindahan penduduk serta pelayaran
Hongi (Hongitochten), serta mengabaikan Traktat London I antara lain dalam pasal 11
memuat ketentuan bahwa Residen Inggris
di Ambon harus merundingkan dahulu
pemindahan koprs Ambon dengan Gubenur dan dalam perjanjian tersebut juga dicantumkan dengan jelas bahwa jika
pemerintahan Inggris berakhir di Maluku maka para serdadu-serdadu Ambon harus dibebaskan dalam artian berhak
untuk memilih untuk memasuki
dinas militer pemerintah baru atau keluar dari dinas militer, akan tetapi dalam pratiknya pemindahan dinas militer
ini dipaksakan[2] Kedatangan kembali
kolonial Belkalian pada tahun 1817 mendapat tantangan keras dari rakyat.
Hal ini disebabkan karena kondisi
politik, ekonomi, dan hubungan kemasyarakatan yang buruk selama dua abad. Rakyat Maluku
akhirnya bangkit mengangkat
senjata di bawah pimpinan Kapitan Pattimura[3] Maka pada waktu pecah perang melawan penjajah
Belkalian tahun 1817, Raja-raja Patih, Para Kapitan,
Tua-tua Adat dan rakyat mengangkatnya sebagai pemimpin dan panglima perang karena berpengalaman dan memiliki sifat-sfat kesatria (kabaressi). Sebagai panglima perang,
Kapitan Pattimura mengatur
strategi perang bersama
pembantunya. Sebagai pemimpin dia berhasil mengkoordinir raja-raja patih dalam melaksanakan kegiatan pemerintahan,
memimpin rakyat, mengatur pendidikan,
menyediakan pangan dan membangun benteng-benteng pertahanan. Kewibawaannya dalam
kepemimpinan diakui luas oleh para raja
patih maupun rakyat biasa. Dalam perjuangan menentang
Belkalian ia
juga menggalang persatuan dengan kerajaan Ternate dan Tidore, raja-raja di Bali, Sulawesi dan
Jawa. Perang Pattimura yang
berskala nasional itu dihadapi Belkalian dengan kekuatan militer yang
besar dan kuat dengan mengirimkan sendiri
Laksamana Buykes, salah seorang Komisaris Jenderal untuk menghadapi Patimura.
Pertempuran-pertempuran yang hebat melawan angkatan
perang Belkalian di darat dan di laut dikoordinasi Kapitan
Pattimura yang dibantu
oleh para penglimanya antara lain Melchior Kesaulya, Anthoni Rebook, Philip Latumahina dan
Ulupaha. Pertempuran yang menghancurkan pasukan
Belkalian tercatat seperti perebutan benteng Belkalian Duurstede di Saparua, pertempuran di pantai Waisisil dan jasirah Hatawano, Ouw-
Ullath, Jazirah Hitu di Pulau Ambon dan Seram Selatan.
Perang Pattimura hanya dapat dihentikan dengan politik adu domba, tipu muslihat dan bumi hangus oleh Belkalian. Para tokoh pejuang
akhirnya dapat ditangkap
dan mengakhiri pengabdiannya di tiang gantungan pada tanggal 16
Desember 1817 di kota Ambon. Untuk
jasa dan pengorbanannya itu, Kapitan
Pattimura dikukuhkan sebagai pahlawan perjuangan kemerdekaan oleh pemerintah Republik
Indonesia. Pahlawan Nasional Indonesia.
Dalam Perangnya melawan
Belkalian, Pattmura
banyak dibantu oleh Kapitan Paulus Tiahahu, seorang kapitan dari negeri Abubu. Sehingga
setelah Pattmura meninggal, perjuagannya kemudian dilanjutkan oleh puteri Kapitan Paulus Tiahahu, yakni Martha Christina Tiahahu. Ia tercatat
sebagai seorang pejuang
kemerdekaan yang unik yaitu seorang
putri remaja yang langsung
terjun dalam medan pertempuran melawan tentara kolonial Belkalian dalam Perang Pattimura tahun 1817. Di
kalangan para pejuang dan masyarakat sampai
di kalangan musuh, ia dikenal sebagai gadis pemberani dan konsekuen terhadap
cita-cita perjuangannya.
Tidak ada komentar